Sesepuh Nahdhatul Ulama (NU) KH Maimoen Zubair muncul ke publik dengan senyum dan kesejukan yang ditebarkan. Sang kiyai sepuh yang tetap istiqamah ini angkat bicara, menyampaikan nasihat sangat berharga bagi generi muda Nahdhatul Ulama.
Sang kiyai berpesan dengan lembut dan santun, tetapi nada kalimatnya penuh tenaga dan menginspirasi. Sesekali, sang kiyai tersenyum lembut, dan menyejukkan kalbu.
"Saya NU asli, tapi..."
KH Maimoen Zubair (ilustrasi) |
Sesepuh Nahdhatul Ulama (NU) KH Maimoen Zubair muncul ke publik dengan senyum dan kesejukan yang ditebarkan. Sang kiyai sepuh yang tetap istiqamah ini angkat bicara, menyampaikan nasihat sangat berharga bagi generi muda Nahdhatul Ulama.
Sang kiyai berpesan dengan lembut dan santun, tetapi nada kalimatnya penuh tenaga dan menginspirasi. Sesekali, sang kiyai tersenyum lembut, dan menyejukkan kalbu.
"Alhamdulillah, saya itu NU tenan (asli)." lirih sang kiyai.
Meski demikian, sang kiyai mengaku, ke-NU-annya tidaklah sama dengan ke-NU-an orang kebanyakan. Beliau mengaku memiliki ke-NU-an yang berbeda.
"Tapi tidak seperti NU-nya orang kebanyakan." lanjutnya sembari menggerakkan badan.
Bukan tanpa alasan, pengakuan sang kiyai justru dilatarbelakangi pengetahuannya tentang masa depan terkait iman kepada yang ghaib.
"Karena saya mengerti," ujar sang kiyai, sembari tersenyum, "nanti yang ditanyakan bukan NU, tapi 'wa man ikhwanuka?' (Siapa saudaramu), bukan 'Siapa kumpulanmu?'"
Kiyai sepuh asal Rembang ini mengingatkan, NU hanyalah organisasi, bukan agama. Malaikat di alam kubur tidak bertanya 'ormas apa yang diikuti?' tetapi bertanya 'siapa saudaramu dalam iman dan Islam?'
Di akhir video pendek yang diunggah oleh Fans Page NU Garis Lurus ini, Kiyai Maimoen mengulang penjelasannya sebagai bentuk penekanan akan pentingnya hal tersebut.
"Yang ada 'wa man ikhwanuka?' (jawabannya) Almuslimuna wal muslimatu, kulluhum ikhwani (Orang Islam laki-laki dan perempuan, semuanya saudaraku)." pungkas sang kiyai.
Islam memang memerintahkan umatnya untuk berjamaah. Tetapi Islam tidak mengajarkan fanatisme golongan. Nasihat ini bagai oase di tengah sahara ketika masing-masing kelompok merasa paling benar kemudian menyalahkan kelompok-kelompok kaum Muslimin lainnya. [Mbah Pirman/Tarbawia]