Menaggapi pertanyaan kelas berat yang disampaikan Karni Ilyas dalam Indonesia Lawyer Club (ILC) Saatnya Damai Bersenandung di TV One pada Selasa (23/5/17), Wakil Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI KH Muhammad Zaitun Rasmin menyampaikan 3 penjelasan tuntas dan telak.
"Bagaimana GNPF melihat situasi skrg? Mungkinkah damai bersenandung di GNPF? Apalagi yang dituntut sdh tercapai. Seharusnya damai justru berawal dr GNPF." tanya Karni.
Menaggapi pertanyaan kelas berat yang disampaikan Karni Ilyas dalam Indonesia Lawyer Club (ILC) Saatnya Damai Bersenandung di TV One pada Selasa (23/5/17), Wakil Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI KH Muhammad Zaitun Rasmin menyampaikan 3 penjelasan tuntas dan telak.
"Bagaimana GNPF melihat situasi skrg? Mungkinkah damai bersenandung di GNPF? Apalagi yang dituntut sdh tercapai. Seharusnya damai justru berawal dr GNPF." tanya Karni.
GNPF MUI dan Umat Islam Terbukti Damai
GNPF MUI dalam berbagai aksinya, jelas Kiyai Zaitun, terbukti damai tanpa adanya satu sampah atau kerusakan apa pun. Aksi berjalan damai dan mengharukan karena diiringi dengan doa-doa dan shalawat.
"Terimakasih, Pak Karni. Kalau bicara damai bersenandung, itu adalah harapan kita semua. Dan sejak awal, GNPF menunjukkan seluruh gerakan-gerakannya menginginkan kedamaian-kedamaian."
Kedamaian bagi GNPF MUI dan umat Islam bukan sekadar jargon, tetapi fakta.
"Betapapun orang ingin berpolemik atau bersilat lidah, tapi fakta menunjukkan; seluruh aksi GNPF-alhamdulillah-berakhi dengan damai, mematuhi aturan," lanjutnya.
Bahkan Presiden Jokowi membanggakan damainya berbagai aksi bela Islam saat menjadi pembicara forum pengusaha di Australia beberapa waktu lalu.
"Apalagi yang kurang dari pernyataan dari seorang bapak Presiden yang sama-sama kita hormati." tegas Kiyai Zaitun.
Beliau menegaskan, damai hanya bisa digapai ketika akar kedamaian benar-benar dilakukan. Yaitu saling menghormati dan menjunjung tinggi toleransi.
"Damai berangkat dari saling menghormati dan toleransi." terangnya.
Lokalisasi Masalah
Menurutnya, setiap persoalan tidak bisa digeneralisir. Harus dilakukan lokalisasi agar memudahkan mencari solusi.
"Bagaimana masalah ini jangan digeneralisir. Kita menghargai ada orang-orang yang suka Pak basuki (Ahok). Kita sangat menghargai itu.
Tetapi ketika pembelaan kepada Pak Basuki dianggap sebagai pembelaan terhadap keadilan, kebhinnekaan, saya kira itu terlalu berlebihan." tandasnya.
Ketika membela Ahok yang terbukti menista agama digaungkan sebagai membela keadilan, kebhinnekaan, dan kesatuan, hal ini bisa menjadi masalah serius yang mengancam kedamaian berbangsa dan bernegara.
"Dan jika ini diulang terus-menerus, jangan berharap aka nada kedamaian sebab kita sendiri tidak mengerti akar-akar kedamaian." terangnya.
Apalagi putusan Majelis Hakim terhadap Ahok berdasarkan bukti-bukti yang kuat didukung oleh berbagai fakta dan pendapat berbagai ahli agama, ahli pidana, dan tokoh-tokoh berkompeten lainnya.
Dialog Terbuka
Terakhir, Kiyai Zaitun menegaskan pentingnya kembali kepada kebiasaan para pendahulu bangsa yang mengedepankan dialog. Ia mengutip nasihat Presiden Soekarno yang tegas menyatakan jangan sampai melupakan sejarah.
"Bagaimana kita menghadapi perbedaan? Dialog. Jika ada perbedaan yang sulit, kalau perlu diskusi terbuka, debat yang sehat. Dan seperti inilah dahulu yang dilakukan oleh para pendahulu bangsa." tuturnya, sembari tersenyum.
Kebiasaan positif ini menjadi budaya, meski ada perbedaan yang tajam antara para pendiri bangsa di masa yang lampau.
"Perbedaan pendapat begitu tajam, mereka tidak berkelahi, tetapi diskusi dengan debat ilmiah. Pancasila itu kompromi dari totkoh kita, dari ulama kita tentang jalan tengah dalam kehidupan berbangsa." pungkas Kiyai Zaitun. [Om Pir/Tarbawia]