Pembubaran pengajian Ustadz Felix Ziauw oleh aparat dan manajemen hotel atas tekanan pihak-pihak tertentu mengundang reaksi keras dari dai santun asal Yogyakarta, Ustadz Salim A. Fillah. Pendakwah yang lahir dari perpaduan kultur Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah ini langsung menyampaikan sikap terbuka dengan gaya khasnya.
Sang Ustadz, dalam tulisannya, mengutip kisah cerdik yang dilakukan oleh sesepuh NU, KH Bisri Mustofa (Ayah dari KH Mustofa Bisri-Gus Mus) dalam menghadapi larangan ceramah yang pernah terjadi di Negeri ini.
Ustadz Salim A Fillah dan Ustadz Felix Siauw (fb) |
Pembubaran pengajian Ustadz Felix Ziauw oleh aparat dan manajemen hotel atas tekanan pihak-pihak tertentu mengundang reaksi keras dari dai santun asal Yogyakarta, Ustadz Salim A. Fillah. Pendakwah yang lahir dari perpaduan kultur Nahdhatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah ini langsung menyampaikan sikap terbuka dengan gaya khasnya.
Sang Ustadz, dalam tulisannya, mengutip kisah cerdik yang dilakukan oleh sesepuh NU, KH Bisri Mustofa (Ayah dari KH Mustofa Bisri-Gus Mus) dalam menghadapi larangan ceramah yang pernah terjadi di Negeri ini.
Suatu hari, KH Bisri Mustofa Rembang rahimahullah, Ayahanda Gus Mus, diundang untuk memberi mau'izhah hasanah pada sebuah pengajian akbar di pesisir utara Jawa. Kala itu zaman Orde Lama, dan sebuah kekuatan politik yang anti-agama kian mencengkeramkan kuku baik dalam birokrasi sipil maupun militer.Di lokasi pengajian di mana ummat membludak, penjagaan aparat tampak mencolok, lebih dari biasanya. Panitia dengan keringat dingin dleweran di wajah mendekati Kyai Bisri yang duduk di kursi depan. "Kyai", ujarnya, "Kata Pak Polisi dan Pak Tentara, Panjenengan tidak boleh menyampaikan pengajian. Bagaimana ini Kyai?""Lho, kenapa katanya?""Katanya ceramah Panjenengan tidak mendapat izin dari komandannya. Ceramah Panjenengan dikhawatirkan membahayakan ketertiban umum.""O begitu, hehe... Ya tidak apa-apa, hehehe... Coba ditanyakan, kalau berdoa saja boleh apa tidak?"
Dengan langkah setengah hati, sang panitia menemui petugas keamanan lagi. Hatinya rusuh. "Lha kalau cuma untuk berdoa, buat apa mendatangkan muballigh kondang sekelas Kyai Bisri?", pikirnya. Tapi ya bagaimana lagi. Daripada tidak sama sekali. Dan betul, kalau cuma berdoa memang dibolehkan.Kyai Bisri dengan sumringah naik ke mimbar. Setelah mukadimah doa sebagaimana umumnya, beliau mulai berdoa dalam Bahasa Indonesia. "Ya Allah, Ya Tuhan kami... Kami berhimpun di sini tak lain hanya untuk mendengar firmanMu yang menyejukkan hati, menyimak ilmuMu untuk memperkaya jiwa kami, menadah perintah dan laranganMu agar tertata langkah kami, meneladani Kanjeng Nabi dan ndherek dhawuh para 'ulama agar berkah hidup kami... Tapi bapak-bapak ini, mungkin karena jarang ikut pengajian bersama kami, mengira kami membicarakan hal-hal yang patut dicurigai...""Maka Ya Allah, Ya Tuhan kami... Bukakanlah mata dan telinga kami semua khususnya Bapak-bapak Tentara maupun Polisi, bahwa kami rakyat Indonesia sangat mencintai negeri ini... Inilah kami mengenang perjuangan para pahlawan kami. Supaya anak cucu kami tahu, mereka mewarisi negeri yang didirikan dengan pengorbanan harta dan jiwa, darah dan airmata. Ya Allah, Ya Tuhan kami... Bukakanlah mata dan telinga kami semua khususnya Bapak-bapak Tentara maupun Polisi, akan siapa musuh sejati dari negeri tercinta Indonesia Raya ini..."Dan 'doa' Kyai Bisri yang sebenarnya orasi akan merentang selama 2,5 jam lagi, sementara hadirin tersenyum-senyum dan petugas keamanan terlongong keki.
Kisah ini sejatinya aplikatif. Namun sayang, ianya tidak bisa dilakukan oleh Ustadz Felix Siauw karena untuk menutup acara dengan doa saja, pelaku pembubaran tidak mengizinkan. [Om Pir/Tarbawia]