Salah satu ciri khas kaum penyembah pikiran dan logika adalah selalu mencari alasan atas setiap perintah agar sesuai dengan pemikirannya. Padahal, pikiran manusia sangatlah terbatas dan dipenuhi kelemahan serta kekurangan.
Misalnya, mereka sering bertanya dan mengandai-andai, jika sumber penyakit yang terdapat di dalam babi dihilangkan, apakah hukum mengonsumsi babi tetap haram atau berubah menjadi halal?
(ilustrasi) |
Salah satu ciri khas kaum penyembah pikiran dan logika adalah selalu mencari alasan atas setiap perintah agar sesuai dengan pemikirannya. Padahal, pikiran manusia sangatlah terbatas dan dipenuhi kelemahan serta kekurangan.
Melalui pintu logika pula, mereka mencoba mengotak-atik sebuah hukum terkait halal dan haram.
Misalnya, mereka sering bertanya dan mengandai-andai, jika sumber penyakit yang terdapat di dalam babi dihilangkan, apakah hukum mengonsumsi babi tetap haram atau berubah menjadi halal?
Menjawab pertanyaan ini, ada satu penjelasan menarik dari Badiuzzaman Said Nursi. Nursi menjelaskan dalam Al-Lama'at, hilangnya hikmah tidak membatalkan sebuah hukum terkait sesuatu atau sebuah perbuatan.
"Hukum-hukum syariat tidak bisa berubah karena perubahan hikmah. Ia bisa berubah karena sebab-sebab yang hakiki." tulis Said Nurdi menjelaskan dalam Al-Lama'at.
Sebagaimana diketahui, pengharaman babi karena adanya berbagai sumber penyakit hanyalah salah satu hikmah atas larangan tersebut. Selain dari itu, ada alasan lain yang hanya diketahui oleh Allah Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.
Salah satunya, masih merujuk pada penjelasan Said Nursi, adalah karakter babi yang bisa menular kepada manusia yang memakannya.
"Siapa pun yang memakan daging babi," terang Nursi, "ia akan berkarakter babi."
Nursi juga menjelaskan, banyak keburukan yang akan dituai oleh pemakan babi. Alhasil, pemakan babi akan mendapatkan berbagai kerugian fisik berupa bersarangnya penyakit di dalam fisik dan berbagai jenis penyakit mental serta kejiwaan lainnya. [Om Pir/Tarbawia]