Seorang doktor yang juga pengamat media dari Universitas Islam Negeri ternama di negeri ini pun angkat bicara soal Aksi 212 ini. Meski sudah berlalu 26-an hari yang lalu, Aksi 212 masih membekas bagi siapa pun yang mengikuti, mendukung, dan tulus hatinya, meski tak bisa bergabung.
Kaum Muslimin dan Bangsa Indonesia menjadi perbincangan dan teladan dalam sejarah dunia lantaran Aksi Bela Islam III yang dihelat di Monas Jakarta pada Jum'at (2/12/16) lalu atau dikenal dengan Aksi 212.
Aksi yang menjadi bukti persatuan kaum Muslimin lintas ormas dan madzhab ahlus sunnah ini harum dalam perbincangan dan menjadi miniatur akhlak Islam yang sebenarnya. Kaum Muslimin berduyun-duyun dengan satu tuntutan, berkumpul dalam naungan dzikir dan shalawat, bertukar senyum, sapa, salam sampai berbagi berbagai makanan.
Dalam hitungan jam setelah acara, jutaan kaum Muslimin dan masyarakat Indonesia berpencar dengan damai dan lancar menuju daerahnya masing-masing tanpa meninggalkan sedikit pun kekacauan, keributan, atau kerusakan. Bahkan, Monas langsung bersih dari sampah. Tiada satu helai sampah bentuk apa pun, kecuali dipungut dan diletakkan di tempat sampah oleh peserta Aksi 212.
Seorang doktor yang juga pengamat media dari Universitas Islam Negeri ternama di negeri ini pun angkat bicara soal Aksi 212 ini. Meski sudah berlalu 26-an hari yang lalu, Aksi 212 masih membekas bagi siapa pun yang mengikuti, mendukung, dan tulus hatinya, meski tak bisa bergabung.
"Bagaimanapun, Aksi 212 membikin gemetar siapa saja yang berakal waras dan berhati sehat," tulis doktor Iswandi Syahputra sebagaimana dimuat dalam Republika, Selasa (27/12/16).
Pengamat Media Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menyampaikan alasan, bukan hal yang gampang untuk mengumpulkan jutaan manusia dalam satu waktu dan satu tuntutan, lalu mereka berpisah dengan damai tanpa bekas keburukan secuil pun.
"Tidak mudah dan tidak murah mengumpulkan jutaan orang dari segala penjuru Indonesia tanpa biaya (tanpa dibayar). Hebatnya, aksi tersebut lancar jaya, damai sejahtera, aman sentosa." tegas sang doktor.
Jika yang bergetar hatinya adalah orang waras dan berakal sehat, bagaimana julukan yang tepat untuk mereka yang nyinyir dan terus-menerus mencaci? [Tarbawia/Om Pir]