Ilustrasi tukang sampah @ coretangina Suguhan media akhir-akhir ini seperti berada dalam satu komando. Oleh ‘invisible hand’, isu yan...
Ilustrasi tukang sampah @ |
Suguhan media akhir-akhir ini seperti berada dalam satu komando. Oleh ‘invisible hand’, isu yang ditayangkan nampak sama dari berbagai macam sisinya. Bagi sebagian kita yang mengamati, tentu ada tanya yang tak mudah tuk dicari jawabnya.
Memang, media selalu berupaya memberikan yang pertama dan terbaik bagi pembaca. Baik dari segi pembaruan, muatan maupun waktu penyediaan konten. Tentu, hal ini sah-sah saja jika yang diberitakan adalah hal terbaru yang memang tengah terjadi dan menjadi perbincangan publik.
Sayangnya, ketika hal itu mendominasi di sepanjang waktu hingga detail detik per detiknya, nampaknya kita meski belajar untk berpikir sedikit analitik, “Ada apakah?”
Ini sama sekali bukan curiga, tapi murni berdasarkan sebuah kaidah sederhana; bahwa masing-masing tempat di belahan bumi bernama Indonesia ini, pastilah memiliki kejadian yang berbeda. Mustahil jika momen pesta suatu daerah membuat daerah lain berhenti beraktivitas karena menonton tayangan pesta yang disiarkan oleh banyak media siar di negeri ini.
Apalagi ketika konten yang diberitakan menjadi mengarah kepada ‘kurang’ cerdas sebab semuanya disampaikan tanpa esensi yang jelas.
Misalnya, yang ditampilkan adalah sarapan dan minuman objek berita, kemudian kelakuan pribadi salah satu anggota keluarga objek berita, lalu ada yang melihat makhluk halus di sekeliling objek berita, selanjutnya ada pengamat yang menangis karena melihat objek berita, dan seterusnya.
Di titik inilah, kita sebagai konsumen inormasi harus cerdas menilai, sebab semua media, se-independen apa pun, pasti memiliki keberpihakan. Entah itu kepada tokoh, ormas, parpol, manhaj, pemikiran, dan sebagainya.
Satu lagi contoh, mungkin kita luput mencernanya.
Pagi hari setelah malam itu konser pesta usai, banyak sampah nan berserakan di sekitar lokasi acara. Jika melihat budaya dan pola pikir masyarakat kita saat ini, tentu hal ini menjadi sesuatu yang ‘biasa’. Meski sebenarnya, amat tak bisa ditolerir ketika berkelanjutan dan menjadi penyakit masyarakat yang akut sehingga susah disembunyikan.
Dari ‘lautan sampah’ nan bergelombang ini, banyak media papan atas yang kemudian memberitakan secara massif. Baik yang awalnya nyata mendukung penyelenggara pesta maupun yang benar-benar independen atau sekadar nampak berimbang.
Sudah menjadi keumuman, bahwa gambar dari suatu berita, pastilah sesuatu atau ilustrasi media apa pun yang berkaitan dengan topik utama berita. Maka, ketika fokus yang diberitakan adalah ‘lautan sampah’, seharusnya media yang memberitakan hal tersebut gambarnya berupa keadaan sampah sesuai di tempat pesta dan sekitarnya.
Namun, coba saksikan melalui mesin pencari informasi. Hampir semua media besar di negeri ini, tak ada satu pun yang menggunakan gambar faktual lokasi bersampah untuk berita ‘lautan sampah’. Mereka hanya menampilkan gambar tempat pesta di malam harinya tanpa sampah, gambar objek penyelenggara pesta yang tanpa sampah juga, dan ilustrasi-ilustrasi lain yang sama sekali tak terkait dengan ‘lautan sampah’ yang diberitakan.
Dalam tahap ini, masih relevankah bagi kita untuk berkata, “Mungkin mereka tak miliki kamera.” Bukankah mereka adalah media kaya raya, dan semua reporter bertugas lengkap diberi ‘amunisi’ untuk meliput?
Oya, mungkin saja, mereka kesiangan sehingga bangun saat lokasi pesta sudah bersih dan rapi. Alhasil, ketika mereka memotret lokasi yang bersih, otomatis bertolak belakang dengan judul dan konten berita ‘lautan sampah’.
Inilah yang kemudian menimbulkan banyak tersebarnya foto hoax seputar lautan sampah. Dan, andai disadari, hal itu sudah sengaja diatur oleh ‘invisble hand’ dengan amat baik. Mirisnya, kita, sama sekali tak berubah kedewasaan dan kejeliaannya. Pasalnya, gambar palsu itu langsung disebar oleh beberapa diantara kita, tanpa ampun dan berkata bangga, “Ini loh bukti pesta kalian sehari semalaman.” Padahal, kepalsuan gambar itu sendiri adalah pertanda bahwa diri seharusnya lebih berjati-hati.
Maka fenomena ‘lautan smpah’ ini, setidaknya menujukkan dua hal. Pertama, media memihak ke mana sebab tak menampilkan foto ‘lautan sampah’ untuk berita tersebut. Kedua, semangat membela kebenaran haruslah dilakukan dengan cara dan muatan yang benar, bukan asal menyebar gambar yang kemudian asli kepalsuannya. [Pirman]