Pada masa perang Amerika di Irak, sebuah telepon bordering di sebuah rumah yang sepi di California. Rumah itu dihuni oleh sepasang suami is...
Pada masa perang Amerika di Irak, sebuah telepon bordering di sebuah rumah yang sepi di California. Rumah itu dihuni oleh sepasang suami istri yang anaknya sedang bertugas di Irak. Setiap hari mereka selalu risau memikirkan nasib anak semata wayangnya itu. Setiap kali telepon bordering, mereka berlomba mengangkatnya. Harapannya, Clark Johnson -anak mereka- yang berada di balik telepon itu.
“Haloo..siapa ini?” Johnson berkata di gagang telepon.
“Ini aku, Clark. Ayah apa kabar? Ibu bagaimana?” Jawab anaknya.
“Kami baik-baik saja, Clark. Kapan kamu kembali?”
“Aku dalam perjalanan pulang, Ayah. Tapi, aku bersama seorang kawan. Kawanku ini tidak memiliki kedua tangan lagi dan kaki kanannya juga diamputasi setengah karena terkena bom. Apa aku boleh membawanya ke rumah?”
“Kamu mau membawanya ke rumah?”
“Ya, Ayah. Dia tidak berani kembali ke rumahnya. Dia takut akan menjadi beban ataupun mempermalukan keluarganya dengan keadaannya itu.”
“Anakku, biarlah rumah sakit yang mengurusnya, tidak usah kamu bawa ke rumah. Siapa yang akan mengurusnya? Dia akan menjadi beban di rumah kita." Suara pun terputus, sang Ayah melanjutkan, "Hallo, Clark. Apa kamu masih di situ?”
ilustrasi @ |
“Baiklah, Ayah. Selamat tinggal.” Tiba-tiba suara Clark tidak terdengar lagi.
Beberapa hari kemudian, seorang laki-laki mengetuk pintu rumah Johnson. Laki-laki itu membawa sepucuk surat dari Departemen Pertahanan Amerika.
“Serah terima jenazah Sersan Clark Johnson.”
Johson terkejut. Dia berlari menuju ambulan. Dia berharap, itu salah alamat. Karena baru beberapa hari yang lalu dia berbicara dengan Clark.
Ternyata tidak salah alamat. Benarlah, itu jasad Clark, anaknya satu-satunya. Yang lebih mengejutkan, ternyata jasad Clark memang tidak memiliki dua tangan dan kaki kanannya tinggal setengah!
Dalam telepon itu, Clark tidak tahan mendengar jawaban ayahnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk bunuh diri.
Johnson sadar. Yang dimaksud anaknya dengan “kawan” adalah dirinya. Ia merasa bersalah ketika mengatakan bahwa kawannya itu akan menjadi beban keluarga. Saat itu, Clark hanya membutuhkan cinta.
Terkadang kita berpikir panjang: untuk siapa kita mempersembahkan cinta? Siapakah yang harus kita cintai? Apakah orang itu pantas menerima cinta dan kebaikan kita atau sebaliknya?
Orang bijak mengatakan, “Cinta sesama di dunia adalah paspor untuk menuju langit tanpa rintangan.” [Saief Alemdar]