Menikah menjadi sebuah gerbang bagi seorang individu untuk memasuki babak baru dalam kehidupannya. Sehingga, masing-masing mereka tidak a...
Menikah menjadi sebuah gerbang bagi seorang individu untuk memasuki babak baru dalam kehidupannya. Sehingga, masing-masing mereka tidak asal pilih; selektif. Meskipun, tak dipungkiri, banyak yang sangat selektif sehingga masuk ke dalam kategori pilah-pilih hingga berlama-lama. Padahal, menikah menjadi salah satu hal yang harus disegerakan ketika masanya tiba; ba’ah (mampu).
Kanjeng Nabi sudah mewasiatkan. Ketika masa ba’ah tiba, seorang pemuda harus segera menikah. Jika belum mampu, dianjurkan baginya untuk berpuasa. Dengan puasa itu, nafsunya akan terjaga sehingga tidak terjerumus dalam zina yang menyengsarakan dan membinasakan di dunia dan akhirat.
Kanjeng Nabi juga memberikan wasiat tentang kepada siapa seharusnya kita –umatnya- menikah. Dibolehkan bagi kita untuk menikahi seseorang karena fisiknya. Disilakan juga bagi seseorang untuk menikah lantaran hartanya. Tak pula dilarang bagi seorang individu untuk menikahi siapa yang dia sukai karena keturunannya.
Tapi, tapi, tapi, di akhir wasiat itu, Kanjeng Nabi berpesan, mewanti-wanti, “Nikahilah karena agamanya.” Tentang alasan, hikmah atau tujuannya ketika menikahi karena agamanya, kata beliau, niscaya kalian akan beruntung. Iya, menikahi karena agamanya; tidak ada kerugian di dalamnya.
Apa pasal? Dalam sabda yang lain disebutkan; jika dia orang yang baik agamanya, meskipun tak mencintai, mereka tak akan menyakitimu. Sebaliknya, jika dia mencintai, maka dia akan berlaku baik terhadapmu.
Maka sebenarnya, dengan siapa seseorang seharusnya menikah; sudah selesai pembahasannya.
Hanya saja, sebagian di antara kita, banyak yang tidak puas. Atau, mencari hal lain yang sesuai dengan diri dan hasratnya untuk kemudian memutuskan menikahi seseorang.
Ini dibolehkan. Dalilnya, seorang sahabat mendatangi nabi. Dia berkisah akan menikah. Lantas, ditanyalah ia tentang sosok calon istrinya. Tanya sang Nabi, “Sudahkan kamu melihatnya?” Jawab sang sahabat, “Belum.”
Beliau pun memerintahkan sahabatnya itu untuk melihat sang calon; tentu melihat anggota tubuh yang dibolehkan saja. Untuk apa? Kata manusia paling mulia itu, agar kau bisa menemukan alasan yang bisa membuatmu semakin mencintainya.
Maka jelaslah sudah. Dibolehkan menambahkan kriteria lain. Asal; tidak mempersulit kedua belah pihak. Dan, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Bukankah dahulu, ada sahabiyah yang menggugat cerai karena perilaku suaminya yang tidak ahsan secara akhlak?
Berikut ini beberapa kriteria tambahan yang mendukung makna baik agamanya dari seseorang. Atau yang mafhum kita kenal dengan shalih atau shalihah.
1. Cantik atau Tampan
Cantik atau tampan adalah memiliki anggota tubuh yang normal, tidak zalim terhadap tubuh dan pandai merawat tubuh. Yakni tidak jorok, membersihkan apa yang menjadi hak, dan sebagainya.
Cantik atau tampan sama sekali tidak bisa dinisbahkan kepada artis/aktor mana pun. Sebab, kriteria ini amatlah relatif, tergantung siapa yang menilai.
2. Jago Memasak
Tidak harus menjadi koki untuk jago memasak. Ini hanya soal bagaimana kesungguhan seorang istri dalam menyediakan masakan yang menjadi lambang cinta dan ketulusan kepada pasangan dan anaknya. Tentu, tidak bisa memasak bukan berarti tidak tulus dalam mencintai.
Juga untuk seorang suami, apakah ia punya kemauan untuk belajar, meski ala kadarnya, guna sesekali memberi kejutan kepada istrinya.
3. Bahagia Jika Dipoligami
Mungkin, ini akan menjadi perdebatan. :D Apalagi di Indonesia. Yang dimaksud adalah adanya kerelaan untuk membersamai pasangan dalam melakukan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya. Termasuk terkait dengan syariat poligami.
Tentu, ini bukan mengada-ada ataupun mempermudah sebuah hukum. Hanya soal bagaimana memandang kelayakan pasangannya dan peluang untuk menjalankannya. Sebab, al-Qur’an juga sudah lama menasehati, “Jika tak mampu adil, satu adalah lebih baik.”
4. Setia dan Bisa Menjaga Kehormatan
Setia berarti membersamai dalam berbagai keadaan. Pasangan yang baik, adalah mereka yang bersama saat pasangannya berada dalam bahagia. Dan, tambah dukungannya ketika pasangannya itu tengah diuji. Bukan mereka yang ada saat suka dan sertamerta pergi ketika pasangannya tengah diuji dalam sengsara.
5. Mujahid/ah
Maknanya bukan hanya mereka yang berada di medan jihad seperti Palestina, Mesir, Suriah, Irak, Afghanistan, Uighur dan seterusnya. Tetapi juga mereka yang senantiasa bersungguh-sungguh dalam memperjuangkan kebaikan di setiap lini.
Mereka juga sosok yang selalu bersemangat dalam ibadah dan amal guna menggapai kehidupan mulia di akhirat dan bahagia di surga.[]
* Insya Allah Bersambung,
Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com