Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah saw, 'Aisyah balik bertanya, "Apakah kamu tidak membaca al-Qur’an?" Sahabat yang ber...
Ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah saw, 'Aisyah balik bertanya, "Apakah kamu tidak membaca al-Qur’an?" Sahabat yang bertanya menjawab, "Ya, aku membaca al-Qur’an". 'Aisyah berkata, "Akhlak Rasul adalah al-Qur’an." Dalam riwayat lain dia menjawab, "Akhlaknya adalah al-Qur’an. Beliau ridha jika al-Qur’an ridha dan marah jika al-Qur’an marah."
Membicarakan al-Qur’an, belum lengkap jika tidak membicarakan pembawa al-Qur’an. Rasulullah disebut sebagai al-Qur’an berjalan karena segala perikehidupan beliau adalah menafsirkan apa yang terkandung di dalam al-Qur’an. Sedikit pun tidak ada perilaku beliau yang menuruti hawa nafsu. Ketika datang wahyu, beliau gembira. Tak ada wahyu, beliau bersedih. Beliau adalah manusia bumi yang langsung terhubung dengan langit. Beliau tidak akan bertindak jika belum mendapat intruksi dari langit. Begitupun sebaliknya, ketika ada perintah melalui Jibril, beliau langsung melaksanakannya.
Sebut saja ketika beliau gusar dalam peristiwa Haditsatul Ifki -berita bohong. Saat itu ‘Aisyah yang suci difitnah oleh gembong munafik bernama Abdullah bin Ubay. Katanya, wanita suci itu berselingkuh dengan Syofwan bin al-Muwaththol. Dimana gembong munafik itu berkata lantang, “Aisyah tidak mungkin bersih dari Shofwan. Dan Shofwan tidak mungkin bersih dari ‘Aisyah.” Peristiwa ini merupakan prahara yang menggelisahkan keluarga Rabbani itu. Dimana akhirnya, Rasulullah memutuskan untuk ‘mengembalikan’ ‘Aisyah ke rumah ayahnya, Abu Bakar ash-Shidiq.
Dalam kisah ini, kita juga mendapati sebuah keteladanan sikap dari keluarga Abu Ayyub al-Anshori. Keluarga ini sama sekali tidak terpengaruh dengan gosip yang beredar. Bahkan, ketika ditanya oleh sang istri, Abu Ayyub hanya menjawab mesra, “Jika yang dituduh melakukan itu adalah dirimu wahai istriku, maka aku tidak mungkin percaya. Apalagi jika ‘Aisyah? Sedangkan aku tahu bahwa ‘Aisyah jauh lebih shalihah dari dirimu.” Begitupun dengan jawaban sang istri ketika ditanyai hal serupa, “Jika yang dituduh adalah dirimu wahai Abu Ayyub, aku tidak mungkin percaya. Apalagi jika yang dituduh adalah Shofwan? Sedang Shofwan adalah lelaki shalih, pemuda yang perkasa dan terdepan dalam memperjuangkan agama ini.”
Sebagai seorang nabi, beliau bisa saja memutuskan akan ‘diapakan’ ‘Aisyah kala itu.. Namun, karena belum adanya wahyu, beliau tidak berani menyampaikan sepatah katapun. Beliau hanya diam sembari berdoa agar Allah segera menyelesaikan masalahnya. Beliau sangat yakin, bahwa Allah tidak mungkin membiarkannya dalam kesendirian. Hingga akhirnya, turunlah surah an-Nuur [24] ayat 11-23 yang mengisahkan tentang peristiwa ini.
Endingnya, si gembong munafik ‘nyengir kuda’. Malu. Ia berkelit dan bersembunyi di balik fitnah yang dilancarkannya. Provokasinya untuk mamecah belah umat gagal total.
Dari kisah ini, kita banyak belajar. Diantaranya agar tidak mudah terhasut oleh peristiwa yang beredar. Dalam surah al-Hujurat [49] ayat 6 disebutkan, ”Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Kisah itu hanya satu contoh tentang ketersambungan langsung Nabi dengan langit. Dan kita dapati, bahwa semua yang beliau lakukan semuanya atas bimbingan Allah. Beliau tidak pernah melakukan sesuatu atas nafsu. Melainkan wahyulah yang senantiasa beliau gunakan sebagai landasan untuk berpijak.
Rasul, telah memberi contoh kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita berlaku sesuai dengan apa yang diinginkan al-Qur’an. Semoga kita bisa menjadi al-Qur’an berjalan, semampu kita.[]
Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com