Umar bin Khathtab pernah mengatakan bahwa sastra bisa membuat seorang pengecut menjadi pemberani. Perkataan ini benar adanya. Sastra yang...
Umar bin Khathtab pernah mengatakan bahwa sastra bisa membuat seorang pengecut menjadi pemberani. Perkataan ini benar adanya. Sastra yang dihasilkan dari kejernihan hati penulisnya, disertai kedalaman fikirnya, bisa mengubah kepribadian seseorang.
Sebagai salah satu penikmat sastra, saya sering mengalamai hal ini. Pun, ketika membaca novel Rose karangan Sinta Yudisia ini. Memasuki episode pertama, hati saya langsung gerimis. Ketika memasuki episode ketiga, saya benar-benar menangis. Padahal, saat itu, saya sedang berada di gerbong kereta api.
Novel ini menceritakan tentang kisah Bu Kusuma dan anak-anaknya dalam menapaki terjalnya medan kehidupan. Beliau adalah janda dengan empat anak. Semuanya perempuan; Dahlia, Cempaka, Mawar dan Melati.
Bu Kusuma menjanda setelah suaminya meninggal lantaran sakit ginjal. Suaminya harus melakukan cuci darah secara rutin sehingga menguras kas keluarga. Sepeninggal suaminya, janda itu harus berjuang keras menghidupi keempat putrinya dengan berjualan aneka jenis jajanan pasar dan bisnis katering. Karena terlalu lelah bekerja, Bu Kusuma mengalami sakit wasir akut. Alhasil, dia harus bolak-balik rumah sakit. Tak ayal, keluarga itu semakin terbelit banyak hutang. Belum lunas hutang yang digunakan untuk berobat almarhum suaminya, sakit yang dialami Bu Kusuma membuat hutang keluarganya semakin menumpuk.
Lantaran tumpukan masalah kehidupan itu, akhirnya Dahlia sebagai anak pertama mengambil langkah berani; keluar dari kampus. Dia mencari pekerjaan dan mengambil alih komando sebagai kepala keluarga. Dahlia bekerja sebagai penjaga toko di kawasan Yogyakarta. Ia bekerja keras demi bisa membiayai kuliah dan sekolah ketiga adiknya, juga untuk biaya sehari-hari keluarga itu.
Masalah semakin menumpuk karena ternyata rumah yang mereka tumpangi sudah diagunkan sertifikatnya ke pihak bank sebagai jaminan pinjaman ketika ayahnya sakit-sakitan. Belum lagi, anggota keluarganya yang turut menagih hutang. Masalah keuangan keluarga ini, persis menjadi tema utama dalam novel ini. Meskipun, sejatinya, masalah keuangan keluarga bukanlah sudut pandang uatama kisah ini.
Konflik juga terjadi antara Cempaka dan Mawar. Anak kedua dan ketiga ini bagaikan kucing dan anjing. Mereka memiliki sifat yang bertolak belakang. Cempaka feminim, Mawar maskulin bahkan cenderung tomboi. Mawar memang dididik dengan metode laki-laki. Ayahnya menghendaki anak ketiga adalah laki-laki, tapi yang terlahir adalah perempuan. Meski tak seperti keinginannya, keluarga itu tetap menyayangi Mawar seperti anak-anak lainnya. Konflik antara Cempaka dan Mawar ini, menghiasi dari awal hingga akhir cerita.
Klimaksnya, Cempaka yang feminim dan menjadi incaran banyak kumbang, memilih kos di dekat kampusnya untuk menghindari pertiakaian dengan Mawar yang hampir terjadi setiap hari. Cempaka yang rupawan, kemudian bekerja sebagai penyiar radio. Lantaran tak bisa membatasi pergaulan, lajang ayu ini dihamili oleh Fian, kekasihnya. Kejadiannya, tepat ketika keluarganya tengah dirundung duka; ditagih debt colector dan rumah mereka akhirnya dijual untuk melunasi hutang kepada bank.
Kejadian ini, mengubah drastis haluan Mawar. Dia yang awalnya sering menghabiskan waktu untuk mendaki gunung, memutuskan untuk berhenti kuliah demi membantu Dahlia dalam menghidupi keluarganya. Dia juga yang menjadi pahlawan bagi Cempaka. Meski sering berseberangan, sejatinya Mawar sangat menyayangi kakaknya itu. Dia yang mengurus kakaknya dengan membawanya ke pondok pesantren rehabilitasi dan bersikukuh bahwa anak dalam kandungan Cempaka tidak boleh digugurkan.
Menarik, Cempaka nampak tak menyadari kekeliruannya. Hidayah justru bermula dari Melati. Bungsu yang masih SMA ini bertemu dengan teman-temannya yang anggota rohis. Lambat laun, Melati ‘dijerumuskan’ oleh teman-temannya untuk menjadi pengajar TPA dan juga menjual aneka jenis kue ketika ada pengajian di masjid-masjid dekat kampus UGM. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berjilbab, meski ditantang oleh Ibu dan kakaknya karena alasan biaya.
Selain Melati, Mawar semakin menunjukkan kualitasnya sebagai ‘kepala keluarga’ yang mengeksekusi semua rencana di keluarganya. Mulai dari memasukkan Cempaka ke pesantren rehabilitasi, menjual dan membeli rumah baru, cuti kuliah untuk bekerja, berhenti bekerja dan beternak ayam hingga menjadi pengusaha sukses, membiayai kehidupan keluarga, membiayai Melati hingga lulus dari Fakultas Kedokteran, hingga menjadi ibu dari anak Cempaka.
Konflik belum selesai selepas kehidupan keluarga ini membaik. Selepas Dahlia menikah dengan teman kantornya –Danu-, Cempaka menjadi artis terkenal di Ibu Kota, hingga kenyataan ‘pahit’ bahwa Melati lebih dulu menikah dari Mawar. Belum lagi, Cempaka yang mulai menggugat keberadaan Yasmin, anak yang dulu dibencinya ketika masih dalam kandungan. Nyaris saja, Mawar menjadi pahlawan yang tersia-siakan.
Dari novel ini, kita juga belajar makna ikhlas. Juga tentang kembali kepada Allah. Bahwa dalam masalah yang selalu melilit di sepanjang kehidupan ini, ada banyak jalan keluar yang seringkali tidak berkaitan dengan permasalahan itu sendiri. Solusi justru didapatkan keluarga Bu Kusuma ketika mereka mulai rajin melaksanakan shalat, dhuha, tahajjud, sedekah, silaturahim juga mengadukan kepada Allah atas semua yang mereka hadapi.
Membaca novel ini, saya teringat dengan 1001 Persoalan Hidup karya Buya HAMKA. Bahwa di luar sana, banyak manusia yang hidup lebih susah dari diri kita saat ini. Sehingga, tak layak jika kita mengeluh, padahal Allah sudah melimpahkan banyak nikmatNya kepada kita. []
Sebagai salah satu penikmat sastra, saya sering mengalamai hal ini. Pun, ketika membaca novel Rose karangan Sinta Yudisia ini. Memasuki episode pertama, hati saya langsung gerimis. Ketika memasuki episode ketiga, saya benar-benar menangis. Padahal, saat itu, saya sedang berada di gerbong kereta api.
Novel ini menceritakan tentang kisah Bu Kusuma dan anak-anaknya dalam menapaki terjalnya medan kehidupan. Beliau adalah janda dengan empat anak. Semuanya perempuan; Dahlia, Cempaka, Mawar dan Melati.
Bu Kusuma menjanda setelah suaminya meninggal lantaran sakit ginjal. Suaminya harus melakukan cuci darah secara rutin sehingga menguras kas keluarga. Sepeninggal suaminya, janda itu harus berjuang keras menghidupi keempat putrinya dengan berjualan aneka jenis jajanan pasar dan bisnis katering. Karena terlalu lelah bekerja, Bu Kusuma mengalami sakit wasir akut. Alhasil, dia harus bolak-balik rumah sakit. Tak ayal, keluarga itu semakin terbelit banyak hutang. Belum lunas hutang yang digunakan untuk berobat almarhum suaminya, sakit yang dialami Bu Kusuma membuat hutang keluarganya semakin menumpuk.
Lantaran tumpukan masalah kehidupan itu, akhirnya Dahlia sebagai anak pertama mengambil langkah berani; keluar dari kampus. Dia mencari pekerjaan dan mengambil alih komando sebagai kepala keluarga. Dahlia bekerja sebagai penjaga toko di kawasan Yogyakarta. Ia bekerja keras demi bisa membiayai kuliah dan sekolah ketiga adiknya, juga untuk biaya sehari-hari keluarga itu.
Masalah semakin menumpuk karena ternyata rumah yang mereka tumpangi sudah diagunkan sertifikatnya ke pihak bank sebagai jaminan pinjaman ketika ayahnya sakit-sakitan. Belum lagi, anggota keluarganya yang turut menagih hutang. Masalah keuangan keluarga ini, persis menjadi tema utama dalam novel ini. Meskipun, sejatinya, masalah keuangan keluarga bukanlah sudut pandang uatama kisah ini.
Konflik juga terjadi antara Cempaka dan Mawar. Anak kedua dan ketiga ini bagaikan kucing dan anjing. Mereka memiliki sifat yang bertolak belakang. Cempaka feminim, Mawar maskulin bahkan cenderung tomboi. Mawar memang dididik dengan metode laki-laki. Ayahnya menghendaki anak ketiga adalah laki-laki, tapi yang terlahir adalah perempuan. Meski tak seperti keinginannya, keluarga itu tetap menyayangi Mawar seperti anak-anak lainnya. Konflik antara Cempaka dan Mawar ini, menghiasi dari awal hingga akhir cerita.
Klimaksnya, Cempaka yang feminim dan menjadi incaran banyak kumbang, memilih kos di dekat kampusnya untuk menghindari pertiakaian dengan Mawar yang hampir terjadi setiap hari. Cempaka yang rupawan, kemudian bekerja sebagai penyiar radio. Lantaran tak bisa membatasi pergaulan, lajang ayu ini dihamili oleh Fian, kekasihnya. Kejadiannya, tepat ketika keluarganya tengah dirundung duka; ditagih debt colector dan rumah mereka akhirnya dijual untuk melunasi hutang kepada bank.
Kejadian ini, mengubah drastis haluan Mawar. Dia yang awalnya sering menghabiskan waktu untuk mendaki gunung, memutuskan untuk berhenti kuliah demi membantu Dahlia dalam menghidupi keluarganya. Dia juga yang menjadi pahlawan bagi Cempaka. Meski sering berseberangan, sejatinya Mawar sangat menyayangi kakaknya itu. Dia yang mengurus kakaknya dengan membawanya ke pondok pesantren rehabilitasi dan bersikukuh bahwa anak dalam kandungan Cempaka tidak boleh digugurkan.
Menarik, Cempaka nampak tak menyadari kekeliruannya. Hidayah justru bermula dari Melati. Bungsu yang masih SMA ini bertemu dengan teman-temannya yang anggota rohis. Lambat laun, Melati ‘dijerumuskan’ oleh teman-temannya untuk menjadi pengajar TPA dan juga menjual aneka jenis kue ketika ada pengajian di masjid-masjid dekat kampus UGM. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berjilbab, meski ditantang oleh Ibu dan kakaknya karena alasan biaya.
Selain Melati, Mawar semakin menunjukkan kualitasnya sebagai ‘kepala keluarga’ yang mengeksekusi semua rencana di keluarganya. Mulai dari memasukkan Cempaka ke pesantren rehabilitasi, menjual dan membeli rumah baru, cuti kuliah untuk bekerja, berhenti bekerja dan beternak ayam hingga menjadi pengusaha sukses, membiayai kehidupan keluarga, membiayai Melati hingga lulus dari Fakultas Kedokteran, hingga menjadi ibu dari anak Cempaka.
Konflik belum selesai selepas kehidupan keluarga ini membaik. Selepas Dahlia menikah dengan teman kantornya –Danu-, Cempaka menjadi artis terkenal di Ibu Kota, hingga kenyataan ‘pahit’ bahwa Melati lebih dulu menikah dari Mawar. Belum lagi, Cempaka yang mulai menggugat keberadaan Yasmin, anak yang dulu dibencinya ketika masih dalam kandungan. Nyaris saja, Mawar menjadi pahlawan yang tersia-siakan.
Dari novel ini, kita juga belajar makna ikhlas. Juga tentang kembali kepada Allah. Bahwa dalam masalah yang selalu melilit di sepanjang kehidupan ini, ada banyak jalan keluar yang seringkali tidak berkaitan dengan permasalahan itu sendiri. Solusi justru didapatkan keluarga Bu Kusuma ketika mereka mulai rajin melaksanakan shalat, dhuha, tahajjud, sedekah, silaturahim juga mengadukan kepada Allah atas semua yang mereka hadapi.
Membaca novel ini, saya teringat dengan 1001 Persoalan Hidup karya Buya HAMKA. Bahwa di luar sana, banyak manusia yang hidup lebih susah dari diri kita saat ini. Sehingga, tak layak jika kita mengeluh, padahal Allah sudah melimpahkan banyak nikmatNya kepada kita. []
Judul : Rose
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Afra Publishing - Surakarta
Tebal : 320hlm ; 20 cm
Cetakan : II ; 2012
ISBN : 978-602-8277-46-4
Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com