Ibarat tumbuhan, pernikahan adalah jenis tanaman sensitif yang membutuhkan perlakuan lebih dalam merawatnya. Ia tidak cukup disiram denga...
Ibarat tumbuhan, pernikahan adalah jenis tanaman sensitif yang membutuhkan perlakuan lebih dalam merawatnya. Ia tidak cukup disiram dengan air kebaikan, tapi juga pupuk-pupuk kebajikan yang harus senantiasa diberikan di sepanjang waktu, dengan jumlah yang konsisten. Jika hal ini tidak dilakukan dengan baik, maka tanaman cinta dalam pernikahan itu, akan cepat layu dan kemudian mati.
Layunya tanaman cinta pernikahan ini, biasanya bermula dari kelalaian pertama dalam memberikan pupuk kebajikan dan siraman air kebaikan. Lalu berlanjut dengan salah faham kecil, dengan aneka bumbu masalah dalam biduk rumah tangga yang tidak disikapi dengan bijak. Masalah ini diperparah dengan orientasi dunia berlebih sehingga tanaman itu kering dan kemudian layu lantaran kehilangan orientasi utamanya.
Pernikahan adalah ibadah. Maka, ia harus diniatkan karena Allah, dijalani sesuai aturan Allah, dan dikembalikan kepada Allah ketika di tengah perjalanan terdapat ujian-ujian. Baik ujian kecil, maupun ujian besar dalam pernikahan.
Sejatinya, tidak ada dikotomi antara masalah kecil ataupun masalah besar. Karena masalah besar, adalah tumpukan dari masalah-masalah kecil yang tidak diakomodir dengan baik. Kecemburuan yang tak beralasan, masakan kurang asin berkelanjutan, egoisme berlebih lantaran kesibukan di luar rumah, merasa menjadi paling berjasa, dan seterusnya. Tumpukan masalah-masalah inilah yang kemudian berakumulasi sehingga menjadi gelombang yang menghancurkan bangunan pernikahan.
Siraman air kebaikan dan pupuk kebajikan dalam tanaman pernikahan itu, bisa berupa kata yang baik, kalimat penyejuk jiwa, senyum hangat yang menginspirasi juga laku tulus perlambang cinta. Inilah mengapa, tugas utama Rasulullah adalah menyempurnakan akhlak. Karena, keshalihan seseorang, hanya akan sempurna dengan baiknya akhlak seseorang. Bukan hanya rajin shalat tapi jahat kepada istri, atau rajin bayar zakat tapi main kasar kepada anak yatim, dan seterusnya. Karena, muslim yang diidamkan, adalah muslim yang kokoh aqidahnya, benar ibadahnya, juga shalih akhlaknya -terhadap diri, keluarga dan masyarakat.
Terkait penggunaan kalimat dalam menyemai kesuburan pernikahan, pasangan ini memiliki pendangan yang berbeda sesuai kekhasannya. Bagi seorang istri, kata itu sangat penting. Karena ia bentuk pengakuan. Sehingga, di samping uang segepok dan aneka kebutuhan materi lainnya, mereka sangat membutuhkan kalimat-kalimat cinta seperti : aku sayang kamu, kamu cantik, terima kasih atas semua baktimu, dan sebagainya.
Sementara itu, suami justru memiliki pandangan yang berbeda. Bagi mereka, kata tak begitu bermakna. Karena bukti lebih dari utama. Sehingga, kesibukannya di luar rumah, semangatnya dalam menumpuk rupiah, dan aneka kerja-kerja lainnya, dianggapnya sebagai bukti cinta yang sesungguhnya, sehingga tak perlu lagi 'menggombal' dengan kalimat-kalimat cinta yang sangat digemari oleh kaum wanita ini.
Dalam hal inilah, terdapat seni dalam pernikahan. Karena sejatinya, mereka adalah satu tubuh yang dipisah dalam dua jenis. Jika kemudian sudah beranak, maka satu cinta itu harus diejawantahkan dalam diri buah hati mereka, sesuai kekhasannya masing-masing. Makanya, pernikahan ini mengandung pahala yang sangat besar bagi siapa yang sungguh-sungguh dalam menjalankannya.
Sehingga, penggunaan kata-kata cinta ini, harus disepakati oleh kedua pasangan. Agar tanaman pernikahan, bisa tumbuh subur dan memberikan manfaat bagi sekitarnya. Tentu, harus dilandasi ketulusan. Bukan kalimat gombal yang tidak memiliki ruh.
Sayang, aku sayang kamu. Ini adalah kalimat pertama yang harus sering disampaikan oleh masing-masing pasangan kepada pasangannya. Berlandaskan ketulusan yang terdalam, sehingga kalimat ini memiliki ruh. Jika ia memiliki ruh, maka akan bermanfaat bagi pengucap maupun yang dijadikan objek ucapannya. Ruh cinta inilah yang akan memberikan semangat bagi keduanya untuk berkarya di luar rumah secara optimal. Kalimat ini, bisa diucapkan sesering mungkin, atau berkala. Misal, ketika bangun tidur, sebelum beranjak ke masjid berjama’ah subuh, di tengah-tengah kerja dengan mengirim pesan singkat, di tengah perjalanan, sepulang kerja, menjelang tidur, di tengah-tengah tilawah bersama, dan seterusnya.
Kedua, terima kasih, sayang. Ini adalah ungkapan tulus atas semua jasa pasangan kita. Untuk penerimaannya, padahal kita banyak cela. Untuk cintanya yang terus dieja di sepanjang jenak kehidupan. Bagi seorang suami, ini adalah kalimat pengakuan. Wujud syukur atas hadirnya istri dalam kehidupannya, sehingga tak lagi sepi. Ia juga ungkapan syukur atas sarapan, teh hangat, kopi kental, maupun semua jenis pelayanan yang dilakukan tanpa tarif. Termasuk juga jasanya mengurus rumah, menyapu, ngepel lantai, dan tugas domestik lainnya. Juga, untuk tulusnya mengandung calon anak, dan mengurusnya hingga besar.
Maafkan aku, cinta. Inilah mantra ketiga cinta. Rumah tangga ibarat samudra. Banyak ombak, tak jarang membadai. Kesalahan-kesalahan sering terjadi, juga kekurangan dari masing-masing pasangan. Di sinilah, diperlukan kedewasaan. Bahwa ketika pasangan kita tak sempurna, maknanya kita juga banyak cela. Ketika pasangan salah, maka kitalah orang pertama yang wajib mengingatkan dan kemudian membenarkannya. Lagi-lagi, bahwa rumah tangga adalah kesatuan. Istrimu, adalah perlambang dirimu. Suamimu, adalah imam yang tak mungkin sempurna. Harus ada sinergi, bukan saling menyalahkan.
Ketiga mantra itu harus dibingkai dalam syari’ah. Bukan sekedar romantisme picisan apalagi obrolan gombal tanpa makna. Semoga, Allah berikan keberkahan untuk rumah tangga kita, dari semenjak meniatkan menikah, hingga kelak Allah memisahkan kita di dunia ini. Dan, semoga Allah kembali pertemukan kita dengan pasangan terbaik kita, di surgaNya. Aamiin. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com
Layunya tanaman cinta pernikahan ini, biasanya bermula dari kelalaian pertama dalam memberikan pupuk kebajikan dan siraman air kebaikan. Lalu berlanjut dengan salah faham kecil, dengan aneka bumbu masalah dalam biduk rumah tangga yang tidak disikapi dengan bijak. Masalah ini diperparah dengan orientasi dunia berlebih sehingga tanaman itu kering dan kemudian layu lantaran kehilangan orientasi utamanya.
Pernikahan adalah ibadah. Maka, ia harus diniatkan karena Allah, dijalani sesuai aturan Allah, dan dikembalikan kepada Allah ketika di tengah perjalanan terdapat ujian-ujian. Baik ujian kecil, maupun ujian besar dalam pernikahan.
Sejatinya, tidak ada dikotomi antara masalah kecil ataupun masalah besar. Karena masalah besar, adalah tumpukan dari masalah-masalah kecil yang tidak diakomodir dengan baik. Kecemburuan yang tak beralasan, masakan kurang asin berkelanjutan, egoisme berlebih lantaran kesibukan di luar rumah, merasa menjadi paling berjasa, dan seterusnya. Tumpukan masalah-masalah inilah yang kemudian berakumulasi sehingga menjadi gelombang yang menghancurkan bangunan pernikahan.
Siraman air kebaikan dan pupuk kebajikan dalam tanaman pernikahan itu, bisa berupa kata yang baik, kalimat penyejuk jiwa, senyum hangat yang menginspirasi juga laku tulus perlambang cinta. Inilah mengapa, tugas utama Rasulullah adalah menyempurnakan akhlak. Karena, keshalihan seseorang, hanya akan sempurna dengan baiknya akhlak seseorang. Bukan hanya rajin shalat tapi jahat kepada istri, atau rajin bayar zakat tapi main kasar kepada anak yatim, dan seterusnya. Karena, muslim yang diidamkan, adalah muslim yang kokoh aqidahnya, benar ibadahnya, juga shalih akhlaknya -terhadap diri, keluarga dan masyarakat.
Terkait penggunaan kalimat dalam menyemai kesuburan pernikahan, pasangan ini memiliki pendangan yang berbeda sesuai kekhasannya. Bagi seorang istri, kata itu sangat penting. Karena ia bentuk pengakuan. Sehingga, di samping uang segepok dan aneka kebutuhan materi lainnya, mereka sangat membutuhkan kalimat-kalimat cinta seperti : aku sayang kamu, kamu cantik, terima kasih atas semua baktimu, dan sebagainya.
Sementara itu, suami justru memiliki pandangan yang berbeda. Bagi mereka, kata tak begitu bermakna. Karena bukti lebih dari utama. Sehingga, kesibukannya di luar rumah, semangatnya dalam menumpuk rupiah, dan aneka kerja-kerja lainnya, dianggapnya sebagai bukti cinta yang sesungguhnya, sehingga tak perlu lagi 'menggombal' dengan kalimat-kalimat cinta yang sangat digemari oleh kaum wanita ini.
Dalam hal inilah, terdapat seni dalam pernikahan. Karena sejatinya, mereka adalah satu tubuh yang dipisah dalam dua jenis. Jika kemudian sudah beranak, maka satu cinta itu harus diejawantahkan dalam diri buah hati mereka, sesuai kekhasannya masing-masing. Makanya, pernikahan ini mengandung pahala yang sangat besar bagi siapa yang sungguh-sungguh dalam menjalankannya.
Sehingga, penggunaan kata-kata cinta ini, harus disepakati oleh kedua pasangan. Agar tanaman pernikahan, bisa tumbuh subur dan memberikan manfaat bagi sekitarnya. Tentu, harus dilandasi ketulusan. Bukan kalimat gombal yang tidak memiliki ruh.
Sayang, aku sayang kamu. Ini adalah kalimat pertama yang harus sering disampaikan oleh masing-masing pasangan kepada pasangannya. Berlandaskan ketulusan yang terdalam, sehingga kalimat ini memiliki ruh. Jika ia memiliki ruh, maka akan bermanfaat bagi pengucap maupun yang dijadikan objek ucapannya. Ruh cinta inilah yang akan memberikan semangat bagi keduanya untuk berkarya di luar rumah secara optimal. Kalimat ini, bisa diucapkan sesering mungkin, atau berkala. Misal, ketika bangun tidur, sebelum beranjak ke masjid berjama’ah subuh, di tengah-tengah kerja dengan mengirim pesan singkat, di tengah perjalanan, sepulang kerja, menjelang tidur, di tengah-tengah tilawah bersama, dan seterusnya.
Kedua, terima kasih, sayang. Ini adalah ungkapan tulus atas semua jasa pasangan kita. Untuk penerimaannya, padahal kita banyak cela. Untuk cintanya yang terus dieja di sepanjang jenak kehidupan. Bagi seorang suami, ini adalah kalimat pengakuan. Wujud syukur atas hadirnya istri dalam kehidupannya, sehingga tak lagi sepi. Ia juga ungkapan syukur atas sarapan, teh hangat, kopi kental, maupun semua jenis pelayanan yang dilakukan tanpa tarif. Termasuk juga jasanya mengurus rumah, menyapu, ngepel lantai, dan tugas domestik lainnya. Juga, untuk tulusnya mengandung calon anak, dan mengurusnya hingga besar.
Maafkan aku, cinta. Inilah mantra ketiga cinta. Rumah tangga ibarat samudra. Banyak ombak, tak jarang membadai. Kesalahan-kesalahan sering terjadi, juga kekurangan dari masing-masing pasangan. Di sinilah, diperlukan kedewasaan. Bahwa ketika pasangan kita tak sempurna, maknanya kita juga banyak cela. Ketika pasangan salah, maka kitalah orang pertama yang wajib mengingatkan dan kemudian membenarkannya. Lagi-lagi, bahwa rumah tangga adalah kesatuan. Istrimu, adalah perlambang dirimu. Suamimu, adalah imam yang tak mungkin sempurna. Harus ada sinergi, bukan saling menyalahkan.
Ketiga mantra itu harus dibingkai dalam syari’ah. Bukan sekedar romantisme picisan apalagi obrolan gombal tanpa makna. Semoga, Allah berikan keberkahan untuk rumah tangga kita, dari semenjak meniatkan menikah, hingga kelak Allah memisahkan kita di dunia ini. Dan, semoga Allah kembali pertemukan kita dengan pasangan terbaik kita, di surgaNya. Aamiin. []
Penulis : Pirman
Redaksi Bersamadakwah.com