Sore itu, saya hanya bisa berdiri terdiam. Tubuh yang berdiri santai menanti waktu Ashar di depan masjid sekolah itu tiba-tiba dikejutkan...
Sore itu, saya hanya bisa berdiri terdiam. Tubuh yang berdiri santai menanti waktu Ashar di depan masjid sekolah itu tiba-tiba dikejutkan oleh pelukan seorang kawan yang tak henti menitikkan air mata.
Kisahnya bermula kurang lebih satu tahun ke belakang dari kejadian itu. Ketika kami dipertemukan dalam sebuah acara dauroh Rohis sekolah saat duduk di kelas 2 SMK. Kemudian mengikuti beragam kegiatan selanjutnya. Sampai akhirnya kepengurusan Rohis angkatan kami terbentuk, dan saya menjadi mas’ul sedangkan ia mengisi salah satu posisi penting di kepengurusan.
Namun, pil pahit itu benar-benar harus ditelan. Ujian itu datang. Saya dapati ia berpacaran dengan salah seorang akhowat, sesama pengurus Rohis pula. Perlahan, sampai hampir semua pengurus mengetahuinya dan menuntut saya segera membuat keputusan.
Beberapa pengurus dan alumni terus menuntut saya minimal menon-aktifkannya sebagai murabbi atau mengeluarkannya dari kepengurusan. Meskipun berulang kali saya katakan saya juga perlu sebuah solusi untuk menyelamatkannya.
Bagaimanapun, ini adalah sebuah organisasi dakwah. Ini bukan saja soal menyelamatkan dirinya, tapi juga keselamatan dakwah, tentang keberlangsungan dakwah ke depannya. Apa pendapat siswa-siswi nanti bila menemukan seorang murabbi halaqah yang ternyata pacaran?
Saya bingung. Pusing. Sebagai mas’ul saya harus segera membuat keputusan. Tapi, rasanya ada yang mengganjal di dalam hati saya. Saya benar-benar tidak tahu apa yang saya lakukan ini tepat atau tidak dengan tetap belum mengeluarkan keputusan. Padahal dengan mudah saya bisa mengambil keputusan itu, sama dengan beberapa pengurus lain yang terlibat hal serupa. Tapi entah ini bisikan setan atau petunjuk dari-Nya, saya terus dibayangi pikiran bahwa dengan ‘memecatnya’ secara langsung dan menon-aktifkan ia sebagai murabbi bukanlah satu-satunya cara untuk menyelamatkannya.
Kasusnya terus berlarut. Mudharat yang selama ini dikhawatirkan belum juga menemukan solusinya.
Bi idznillah, malam itu menjelang tidur, Allah memberikan jawaban ketika semuanya terlihat buntu. Malam itu pula, saya lekas menyiapkan dua senjata utama; pulpen dan dua lembar kertas folio bergaris.
Ya, saya akan menuliskan surat untuknya. Esoknya di sekolah ketika istirahat kedua, setelah menunaikan shalat Zhuhur saya tuliskan surat itu dengan hati-hati. Menghindari sedikitpun salah eja atau coretan tertentu. Bel masuk berbunyi, maksud hati ingin memberikan surat itu langsung kepadanya, namun di tengah jalan saya berjumpa teman sekelasnya yang juga salah satu pengurus Rohis. “Nah, kebetulan...” sambil saya mendekatinya untuk meminta tolong, “…titip ini ya buat…”. “Oh, yaudah.” potong teman saya itu seraya segera masuk ke kelasnya.
Saya lupa bagaimana redaksi surat itu, bahkan lupa ini terjadi sejak hari itu juga. Kurang lebih saya usahakan untuk tidak terlalu frontal. Bahasanya juga cenderung tersirat. Saya hanya berharap Allah yang akan menyampaikan maksud surat itu ke dalam hatinya.
Malamnya, ia mengirim sebuah pesan singkat, “Akh, ana mengundurkan diri menjadi murabbi.” Hanya itu, tidak ada basa-basi. Saya balas dengan, “Yakin, Akh?” Tapi tak ada balasan.
Untuk beberapa waktu saya tak berani bertegur sapa dengannya. Kedekatan yang selama ini kami bangun seakan terhalang sebuah tembok batu yang sangat tinggi dan tebal.
“Terima kasih, Akh..”, kalimat itu membuat saya hampir menangis kalau saja saya tidak ingat sedang berada di mana, “…terima kasih sudah mengingatkan ana dengan halus.” Air mata tak berhenti keluar dari kedua kelopak matanya. Tangannya terus erat memeluk tubuh saya yang terkejut dengan kedatangannya sore itu menjelang Ashar di masjid sekolah. Beberapa hari setelah surat itu sampai kepadanya.
Saya terdiam beberapa saat sampai adzan Ashar melepaskan pelukannya. Sore itu pula setelah shalat, ia kembali memegang halaqah lamanya yang hampir saja saya mau carikan murabbi pengganti. Sampai kini, alhamdulillah Allah perkenankan ia menikmati lezatnya keistiqomahan berada di atas jalan dakwah-Nya. Taubatnya benar-benar melahirkan rahmat-Nya. Ia, insya Allah saya temui sebagai hingga kini tergabung dalam barisan orang-orang yang memperjuangkan agama-Nya di sebuah ladang dakwah.
Untuk sahabatku, jika kelak kau membaca ini, anggaplah ini surat kedua yang kuberikan untukmu sebagai tanda syukur atas pemberian-Nya. Kau tahu? Air mata ini sempat menetes ketika menuliskan surat ini dan mengingat sepenggal kisah hidayah yang Allah hadirkan pada kita.
Semoga kita sama-sama dapat mengambil hikmah dari semua kejadian ini. Hidayah Allah itu memang sungguh unik. Kau yang lihat buruk hari ini, bisa jadi menjadi pendekar dakwah di kemudian hari. Begitu pula sebaliknya.
Allahu a’lam bi ash-shawwab. []
Penulis : Hary Setiawan
Jakarta Timur
Kisahnya bermula kurang lebih satu tahun ke belakang dari kejadian itu. Ketika kami dipertemukan dalam sebuah acara dauroh Rohis sekolah saat duduk di kelas 2 SMK. Kemudian mengikuti beragam kegiatan selanjutnya. Sampai akhirnya kepengurusan Rohis angkatan kami terbentuk, dan saya menjadi mas’ul sedangkan ia mengisi salah satu posisi penting di kepengurusan.
Namun, pil pahit itu benar-benar harus ditelan. Ujian itu datang. Saya dapati ia berpacaran dengan salah seorang akhowat, sesama pengurus Rohis pula. Perlahan, sampai hampir semua pengurus mengetahuinya dan menuntut saya segera membuat keputusan.
Beberapa pengurus dan alumni terus menuntut saya minimal menon-aktifkannya sebagai murabbi atau mengeluarkannya dari kepengurusan. Meskipun berulang kali saya katakan saya juga perlu sebuah solusi untuk menyelamatkannya.
Bagaimanapun, ini adalah sebuah organisasi dakwah. Ini bukan saja soal menyelamatkan dirinya, tapi juga keselamatan dakwah, tentang keberlangsungan dakwah ke depannya. Apa pendapat siswa-siswi nanti bila menemukan seorang murabbi halaqah yang ternyata pacaran?
Saya bingung. Pusing. Sebagai mas’ul saya harus segera membuat keputusan. Tapi, rasanya ada yang mengganjal di dalam hati saya. Saya benar-benar tidak tahu apa yang saya lakukan ini tepat atau tidak dengan tetap belum mengeluarkan keputusan. Padahal dengan mudah saya bisa mengambil keputusan itu, sama dengan beberapa pengurus lain yang terlibat hal serupa. Tapi entah ini bisikan setan atau petunjuk dari-Nya, saya terus dibayangi pikiran bahwa dengan ‘memecatnya’ secara langsung dan menon-aktifkan ia sebagai murabbi bukanlah satu-satunya cara untuk menyelamatkannya.
Kasusnya terus berlarut. Mudharat yang selama ini dikhawatirkan belum juga menemukan solusinya.
Bi idznillah, malam itu menjelang tidur, Allah memberikan jawaban ketika semuanya terlihat buntu. Malam itu pula, saya lekas menyiapkan dua senjata utama; pulpen dan dua lembar kertas folio bergaris.
Ya, saya akan menuliskan surat untuknya. Esoknya di sekolah ketika istirahat kedua, setelah menunaikan shalat Zhuhur saya tuliskan surat itu dengan hati-hati. Menghindari sedikitpun salah eja atau coretan tertentu. Bel masuk berbunyi, maksud hati ingin memberikan surat itu langsung kepadanya, namun di tengah jalan saya berjumpa teman sekelasnya yang juga salah satu pengurus Rohis. “Nah, kebetulan...” sambil saya mendekatinya untuk meminta tolong, “…titip ini ya buat…”. “Oh, yaudah.” potong teman saya itu seraya segera masuk ke kelasnya.
Saya lupa bagaimana redaksi surat itu, bahkan lupa ini terjadi sejak hari itu juga. Kurang lebih saya usahakan untuk tidak terlalu frontal. Bahasanya juga cenderung tersirat. Saya hanya berharap Allah yang akan menyampaikan maksud surat itu ke dalam hatinya.
Malamnya, ia mengirim sebuah pesan singkat, “Akh, ana mengundurkan diri menjadi murabbi.” Hanya itu, tidak ada basa-basi. Saya balas dengan, “Yakin, Akh?” Tapi tak ada balasan.
Untuk beberapa waktu saya tak berani bertegur sapa dengannya. Kedekatan yang selama ini kami bangun seakan terhalang sebuah tembok batu yang sangat tinggi dan tebal.
“Terima kasih, Akh..”, kalimat itu membuat saya hampir menangis kalau saja saya tidak ingat sedang berada di mana, “…terima kasih sudah mengingatkan ana dengan halus.” Air mata tak berhenti keluar dari kedua kelopak matanya. Tangannya terus erat memeluk tubuh saya yang terkejut dengan kedatangannya sore itu menjelang Ashar di masjid sekolah. Beberapa hari setelah surat itu sampai kepadanya.
Saya terdiam beberapa saat sampai adzan Ashar melepaskan pelukannya. Sore itu pula setelah shalat, ia kembali memegang halaqah lamanya yang hampir saja saya mau carikan murabbi pengganti. Sampai kini, alhamdulillah Allah perkenankan ia menikmati lezatnya keistiqomahan berada di atas jalan dakwah-Nya. Taubatnya benar-benar melahirkan rahmat-Nya. Ia, insya Allah saya temui sebagai hingga kini tergabung dalam barisan orang-orang yang memperjuangkan agama-Nya di sebuah ladang dakwah.
Untuk sahabatku, jika kelak kau membaca ini, anggaplah ini surat kedua yang kuberikan untukmu sebagai tanda syukur atas pemberian-Nya. Kau tahu? Air mata ini sempat menetes ketika menuliskan surat ini dan mengingat sepenggal kisah hidayah yang Allah hadirkan pada kita.
Semoga kita sama-sama dapat mengambil hikmah dari semua kejadian ini. Hidayah Allah itu memang sungguh unik. Kau yang lihat buruk hari ini, bisa jadi menjadi pendekar dakwah di kemudian hari. Begitu pula sebaliknya.
Allahu a’lam bi ash-shawwab. []
Penulis : Hary Setiawan
Jakarta Timur
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)