“Tok…tok… Assalamu’alaikum”, suara pintu kamarku diketuk dan diiringi suara salam. “Wa’alaikumussama. Masuk saja, tidak dikunci.” Jawabku...
“Tok…tok… Assalamu’alaikum”, suara pintu kamarku diketuk dan diiringi suara salam.
“Wa’alaikumussama. Masuk saja, tidak dikunci.” Jawabku spontan sambil terus fokus dengan pekerjaan rumahku yang diberikan oleh Ibu guru tercinta.
Mba Fitri melihatku yang tengah sibuk dengan pekerjaanku. Ia duduk menungguiku sambil melihat-lihat isi kamarku. Setelah selesai mengerjakan PR, aku pun diajak ngobrol olehnya.
“Dek, kamu beli poster itu berapa harganya?” tanyanya sambil menunjuk poster yang terpampang di dinding kamarku.
“Rp. 1.500,- , kenapa?” jawabku sambil beberes alat-alat tulis yang bertebaran di meja.
“Boleh ngga mba beli Rp 15.000,- ?” Mb Fitri sambil mengeluarkan uang di kantongnya.
“Boleh banget mba”, bagiku itu pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab.
Bagaimana tidak? Dibeli dengan sepuluh kali lipat dari harga belinya setiap orang pasti mau. Itu pikirku saat itu. Namun, ada syarat yang diberikan oleh mbakku, yaitu tidak boleh beli poster lagi dan tidak boleh memasang poster lagi. Aku pun mengiyakannya. Itulah saat pertama kali dan terakhir kalinya membeli dan memasang poster gambar pemain film luar negeri yang sedang tenar saat itu.
Mba Fitri pun sering memberiku buku-buku bacaan islami, bacaan-bacaan yang ringan, seperti kumpulan cerpen dan novel. Setiap harinya aku didengarkan lantunan nasyid anak-anak sampai suatu waktu saat ada penilaian menyanyi dengan tema bebas, aku menyanyikan lagu islam dan teman-teman di kelas pun minta diajarkan. Saat penilaian menyanyi tiba, beberapa teman di kelas menyanyikan lagu islami. Sekolah negeri terasa seperti di pesantren saat itu.
Waktu terus berjalan, tiba saatnya aku melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Sekolah Negeri favorit itu yang menjadi tujuanku. Alhamdulillah masuk dengan posisi aman karena masih termasuk peringkat yang nilainya menengah ke atas. Sekolah di Negeri dan masih dianggap anak-anak karena belum baligh, dijadikan alasan oleh orang tua agar aku tidak mengenakan jilbab terlebih dahulu. Nanti, saat SMA baru aku diperbolehkan untuk berbusana muslimah. Mba Fitri pun tidak menerima alasan orang tua dan terus membujuk orang tua dan aku untuk mengenakan busana muslimah.
“Mba mau kamu memakai jilbab, kalau kamu tidak memakai jilbab mba ngga mau menganggap kamu sebagai saudara mba”.
Seperti ada kilat dan petir yang menghampiri saat itu. Seketika ada energi yang menggerakkan hati untuk menyampaikan keinginan untuk berbusana muslimah dari SMP. Alhamdulillah, orang tua menuruti inginku. Sejak saat itu aku pun mengenakan jilbab. Hampir setiap pagi aku dipakaikan jilbab karena masih belum bisa dan terbiasa. Karena dari awal aku dipakaikan jilbab yang syar’i (red. lebar dan tebal), lama-lama aku jadi terbiasa.
Di sekolah hanya ada empat yang memakai jilbab termasuk aku dan teman dekatku. Alhamdulillah teman dekatku mau diajak memakai jilbab meskipun belum bisa istiqomah, memakai jilbabnya hanya saat pergi saja. Bagiku bisa mengajak orang lain, orang yang kita sayangi itu suatu hal yang sangat membahagiakan.
Diantara empat yang memakai jilbab, aku lah satu-satunya yang mengenakan jilbab syar’i. Awal-awal di sekolah terasa aneh berada di tempat yang aku beda sendiri. Celaan, cacian, dan hinaan sudah biasa terdengar. Dianggap hamil jadinya memakai jilbab besar, atau pun ada cacat tubuh. Alhamdulillah aku bisa melewati semuanya. Dan alhamdulillahnya lagi salah satu teman yang tadinya belum syar’i berubah menjadi syar’i sampai saat ini dan teman-teman pun pelan-pelan bertambah yang memakai jilbab.
Berjilbab yang awalnya karena dipaksa, lama-lama menjadi terbiasa dan menjadi sebuah kebutuhan. Banyak manfaat yang aku dapatkan. Benar adanya bahwa Allah memerintahkan untuk melakukan suatu hal pasti ada hikmah di dalamnya. Dan aku pun ingin semua muslimah mengenakan jilbab dan merasakan nikmatnya, seperti apa yang aku rasakan kini. []
Penulis : Hamidatun
Jakarta Timur
“Wa’alaikumussama. Masuk saja, tidak dikunci.” Jawabku spontan sambil terus fokus dengan pekerjaan rumahku yang diberikan oleh Ibu guru tercinta.
Mba Fitri melihatku yang tengah sibuk dengan pekerjaanku. Ia duduk menungguiku sambil melihat-lihat isi kamarku. Setelah selesai mengerjakan PR, aku pun diajak ngobrol olehnya.
“Dek, kamu beli poster itu berapa harganya?” tanyanya sambil menunjuk poster yang terpampang di dinding kamarku.
“Rp. 1.500,- , kenapa?” jawabku sambil beberes alat-alat tulis yang bertebaran di meja.
“Boleh ngga mba beli Rp 15.000,- ?” Mb Fitri sambil mengeluarkan uang di kantongnya.
“Boleh banget mba”, bagiku itu pertanyaan retoris yang tidak perlu dijawab.
Bagaimana tidak? Dibeli dengan sepuluh kali lipat dari harga belinya setiap orang pasti mau. Itu pikirku saat itu. Namun, ada syarat yang diberikan oleh mbakku, yaitu tidak boleh beli poster lagi dan tidak boleh memasang poster lagi. Aku pun mengiyakannya. Itulah saat pertama kali dan terakhir kalinya membeli dan memasang poster gambar pemain film luar negeri yang sedang tenar saat itu.
Mba Fitri pun sering memberiku buku-buku bacaan islami, bacaan-bacaan yang ringan, seperti kumpulan cerpen dan novel. Setiap harinya aku didengarkan lantunan nasyid anak-anak sampai suatu waktu saat ada penilaian menyanyi dengan tema bebas, aku menyanyikan lagu islam dan teman-teman di kelas pun minta diajarkan. Saat penilaian menyanyi tiba, beberapa teman di kelas menyanyikan lagu islami. Sekolah negeri terasa seperti di pesantren saat itu.
Waktu terus berjalan, tiba saatnya aku melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Sekolah Negeri favorit itu yang menjadi tujuanku. Alhamdulillah masuk dengan posisi aman karena masih termasuk peringkat yang nilainya menengah ke atas. Sekolah di Negeri dan masih dianggap anak-anak karena belum baligh, dijadikan alasan oleh orang tua agar aku tidak mengenakan jilbab terlebih dahulu. Nanti, saat SMA baru aku diperbolehkan untuk berbusana muslimah. Mba Fitri pun tidak menerima alasan orang tua dan terus membujuk orang tua dan aku untuk mengenakan busana muslimah.
“Mba mau kamu memakai jilbab, kalau kamu tidak memakai jilbab mba ngga mau menganggap kamu sebagai saudara mba”.
Seperti ada kilat dan petir yang menghampiri saat itu. Seketika ada energi yang menggerakkan hati untuk menyampaikan keinginan untuk berbusana muslimah dari SMP. Alhamdulillah, orang tua menuruti inginku. Sejak saat itu aku pun mengenakan jilbab. Hampir setiap pagi aku dipakaikan jilbab karena masih belum bisa dan terbiasa. Karena dari awal aku dipakaikan jilbab yang syar’i (red. lebar dan tebal), lama-lama aku jadi terbiasa.
Di sekolah hanya ada empat yang memakai jilbab termasuk aku dan teman dekatku. Alhamdulillah teman dekatku mau diajak memakai jilbab meskipun belum bisa istiqomah, memakai jilbabnya hanya saat pergi saja. Bagiku bisa mengajak orang lain, orang yang kita sayangi itu suatu hal yang sangat membahagiakan.
Diantara empat yang memakai jilbab, aku lah satu-satunya yang mengenakan jilbab syar’i. Awal-awal di sekolah terasa aneh berada di tempat yang aku beda sendiri. Celaan, cacian, dan hinaan sudah biasa terdengar. Dianggap hamil jadinya memakai jilbab besar, atau pun ada cacat tubuh. Alhamdulillah aku bisa melewati semuanya. Dan alhamdulillahnya lagi salah satu teman yang tadinya belum syar’i berubah menjadi syar’i sampai saat ini dan teman-teman pun pelan-pelan bertambah yang memakai jilbab.
Berjilbab yang awalnya karena dipaksa, lama-lama menjadi terbiasa dan menjadi sebuah kebutuhan. Banyak manfaat yang aku dapatkan. Benar adanya bahwa Allah memerintahkan untuk melakukan suatu hal pasti ada hikmah di dalamnya. Dan aku pun ingin semua muslimah mengenakan jilbab dan merasakan nikmatnya, seperti apa yang aku rasakan kini. []
Penulis : Hamidatun
Jakarta Timur
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)