Memang benar bahwa hidayah itu datang pada siapa saja. Saya mengenal dakwah ini melalui kegiatan bernama tarbiyah sejak SMA kelas satu. ...
Memang benar bahwa hidayah itu datang pada siapa saja. Saya mengenal dakwah ini melalui kegiatan bernama tarbiyah sejak SMA kelas satu. Mulanya saya diajak oleh seorang kakak kelas yang kebetulan adalah tetangga saya sendiri dan senior saya sejak SD. Sebut saja namanya Kak Hafshah. Sejak awal saya memang sangat mengagumi sosoknya. Selain cerdas, baik, dan ramah, Kak Hafshah juga selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya sejak sekolah dasar. Kekagumanku semakin bertambah saat masuk SMA. Kak Hafshah didaulat sebagai salah satu siswa berprestasi dan sering mewakili sekolah dalam ajang lomba. Selain itu, beliau juga memakai jilbab lebar yang menjuntai sampai pinggang. Tak peduli orang mau mengatakan “sok alim”. Ia tetap PD (percaya diri) dengan apa yang digunakannya.
Suatu hari, saat jam istirahat Kak Hafshah menghampiri kelasku. Beliau mengajak aku ikut pengajian dengannya saat pulang sekolah nanti. Aku pun nurut aja. Dalam hati aku berkata “Wah, kebetulan banget. Padahal dari dulu aku pengen banget kenal dan ngobrol sama Kak Hafshah. Eh, ternyata dia yang duluan ngajak aku kenalan dan ngobrol”. Pulang sekolah pun aku bergegas ke masjid sekolah. Aku langsung shalat Dhuhur dulu sambil menunggu Kak Hafshah. Saat itu aku ngajak salah satu sahabatku sejak SD untuk ikut bergabung. Tak lama setelah shalat Kak Hafshah pun datang dan beliau menginstruksikan untuk ke teras masjid. Ternyata telah ada beberapa anak dari kelas lain. Kami pun duduk melingkar dan saling berkenalan.
Hari itu Kak Hafshah membawakan materi tentang Nama-nama Al-Qur’an. Pembawaannya santai dan dengan bahasa yang mudah di cerna untuk anak-anak remaja seperti kami ini. Entah mengapa hatiku sangat tenang dan damai mendengar Kak Hafshah membawakan materi itu. Pertemuan perdana hari itu pun berakhir tepat pukul tiga. Anehnya saat pulang Kak Hafshah menjabat tangan kami satu persatu sambil cipika-cipika. Kami yang baru mendapat perlakuan seperti itu hanya tersenyum malu dan “agak aneh”. Melihat kami seperti orang kebingungan, Kak Hafshah hanya tersenyum sambil berkata “Beginilah cara salaman sesama muslim dengan saudaranya”. Kami semua pun tertawa ringan.
Sejak saat itu, saya selalu rutin ikut tarbiyah dengan Kak Hafshah. Setiap pekan ada selalu ada “personil tambahan”. Dari tarbiyah ini saya belajar mengenal Islam lebih dalam. Pernah suatu hari saat membahas tentang aurat, saya merasa sangat malu. Bagaimana tidak, saat itu saya belum mengenakan jilbab. Terasa ingin menangis hati ini. Apalagi mengingat salah satu alasan saya untuk masuk ke sekolah saya itu adalah karena saya tidak ingin berjilbab. Setelah tamat SMP, ibu menawarkan dua SMA kepada saya. Tanpa berpikir panjang, saya langsung memilih sekolah saya saat itu karena saya tidak menyukai peraturan di sekolah yang kedua, dimana semua siswi muslim diwajibkan berjilbab. Jika mengingat alasan saya itu, saya sering mengutuk diri sendri “Betapa bodohnya alasan saya itu”. Saat memutuskan akan bejilbab, ibu marah besar. Beliau mengembalikan kata-kata saya yang sejak awal masuk SMA tidak ingin berjilbab. Tak ada kata yang mampu terucap saat itu. Saya hanya bisa bersabar dan memohon pertolongan pada Allah. Namun, tak lama Allah mengabulkan doaku. Memang hati itu dengan mudah di bolak-balik. Alhamdulillah, ibu akhirnya luluh dan malah berbalik sibuk mengurus seragam baru buatku. Aku sangat bersyukur. Akhirnya aku bisa mengenakan jilbab dengan rapi dan menutup dada ke sekolah. Mengalir ucapan selamat dan doa agar tetap istiqomah dari teman-teman terbiyahku, teman kelas, para senior, para guru dan bahkan wali kelasku. Ternyata beginilah indahnya Islam.
Alhamdulillah sampai sekarang diri ini masih istiqomah untuk tetap terbiyah dan terlibat aktif dalam dakwah kampus. Semoga Allah senatiasa tetap menjaga diri ini untuk istiqomah sampai akhir hayatku. Aamiin.
Penulis : Reskiyana
Makassar, Sulawesi Selatan
Suatu hari, saat jam istirahat Kak Hafshah menghampiri kelasku. Beliau mengajak aku ikut pengajian dengannya saat pulang sekolah nanti. Aku pun nurut aja. Dalam hati aku berkata “Wah, kebetulan banget. Padahal dari dulu aku pengen banget kenal dan ngobrol sama Kak Hafshah. Eh, ternyata dia yang duluan ngajak aku kenalan dan ngobrol”. Pulang sekolah pun aku bergegas ke masjid sekolah. Aku langsung shalat Dhuhur dulu sambil menunggu Kak Hafshah. Saat itu aku ngajak salah satu sahabatku sejak SD untuk ikut bergabung. Tak lama setelah shalat Kak Hafshah pun datang dan beliau menginstruksikan untuk ke teras masjid. Ternyata telah ada beberapa anak dari kelas lain. Kami pun duduk melingkar dan saling berkenalan.
Hari itu Kak Hafshah membawakan materi tentang Nama-nama Al-Qur’an. Pembawaannya santai dan dengan bahasa yang mudah di cerna untuk anak-anak remaja seperti kami ini. Entah mengapa hatiku sangat tenang dan damai mendengar Kak Hafshah membawakan materi itu. Pertemuan perdana hari itu pun berakhir tepat pukul tiga. Anehnya saat pulang Kak Hafshah menjabat tangan kami satu persatu sambil cipika-cipika. Kami yang baru mendapat perlakuan seperti itu hanya tersenyum malu dan “agak aneh”. Melihat kami seperti orang kebingungan, Kak Hafshah hanya tersenyum sambil berkata “Beginilah cara salaman sesama muslim dengan saudaranya”. Kami semua pun tertawa ringan.
Sejak saat itu, saya selalu rutin ikut tarbiyah dengan Kak Hafshah. Setiap pekan ada selalu ada “personil tambahan”. Dari tarbiyah ini saya belajar mengenal Islam lebih dalam. Pernah suatu hari saat membahas tentang aurat, saya merasa sangat malu. Bagaimana tidak, saat itu saya belum mengenakan jilbab. Terasa ingin menangis hati ini. Apalagi mengingat salah satu alasan saya untuk masuk ke sekolah saya itu adalah karena saya tidak ingin berjilbab. Setelah tamat SMP, ibu menawarkan dua SMA kepada saya. Tanpa berpikir panjang, saya langsung memilih sekolah saya saat itu karena saya tidak menyukai peraturan di sekolah yang kedua, dimana semua siswi muslim diwajibkan berjilbab. Jika mengingat alasan saya itu, saya sering mengutuk diri sendri “Betapa bodohnya alasan saya itu”. Saat memutuskan akan bejilbab, ibu marah besar. Beliau mengembalikan kata-kata saya yang sejak awal masuk SMA tidak ingin berjilbab. Tak ada kata yang mampu terucap saat itu. Saya hanya bisa bersabar dan memohon pertolongan pada Allah. Namun, tak lama Allah mengabulkan doaku. Memang hati itu dengan mudah di bolak-balik. Alhamdulillah, ibu akhirnya luluh dan malah berbalik sibuk mengurus seragam baru buatku. Aku sangat bersyukur. Akhirnya aku bisa mengenakan jilbab dengan rapi dan menutup dada ke sekolah. Mengalir ucapan selamat dan doa agar tetap istiqomah dari teman-teman terbiyahku, teman kelas, para senior, para guru dan bahkan wali kelasku. Ternyata beginilah indahnya Islam.
Alhamdulillah sampai sekarang diri ini masih istiqomah untuk tetap terbiyah dan terlibat aktif dalam dakwah kampus. Semoga Allah senatiasa tetap menjaga diri ini untuk istiqomah sampai akhir hayatku. Aamiin.
Penulis : Reskiyana
Makassar, Sulawesi Selatan
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)