Saya adalah seorang bidan yang bekerja pada sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkemuka di Indonesia. Terinspirasi dari seorang bidan sen...
Saya adalah seorang bidan yang bekerja pada sebuah rumah sakit swasta yang cukup terkemuka di Indonesia. Terinspirasi dari seorang bidan senior di sebuah rumah sakit negeri di Jakarta, yang saya jumpai saat praktik lapangan semasa saya kuliah dulu. Di akhir praktik kami harus mempresentasikan berbagai kasus penyakit yang kami jumpai. Beliaulah salah satu bidan senior yang meguji hasil presentasi kami. Saat itulah salah satu kelompok dari teman sejawat kami mempresentasikan asuhan kebidanan pada ibu yang mengalami abortus (keguguran).
Sesi tanya jawabpun tiba, mulailah Bidan Taty mengoreksi pekerjaan yang sudah kami lakukan yang kemudian kami presentasikan tersebut. Dengan nada tegas dan berwibawa beliau bertanya, “Asuhan apa yang kurang dari presentasikan yang sudah kalian tampilkan?”
Seluruh hadirin saling berpandangan. Mereka mencoba menerka-nerka maksud yang diinginkan Bidan Taty. Kami cukup kebingungan karena menurut kami presentasinya sudah cukup sempurna. Cukup lama ruangan menjadi hening karena tidak ada yang bisa menjawab, Bidan Taty mulai memancing masiswi lainnya agar lebih aktif lagi, “Bagi yang mengetahui kekurangannya saya akan berikan nilai A pada kelompok kalian.”
Seluruh hadirin riuh bersemangat sambil berpikir keras untuk memecahkan pertanyaan Bidan Taty. Terlalu lama tidak ada jawaban raut wajah Bidan Taty berubah seperti menahan amarah. Dengan nada yang meninggi beliaupun memberikan koreksi untuk kelompok yang sedang presentasi.
“Kasus apa yang sedang kita bahas disini? Kasus abortus, secara medis kalian memang sempurna mempresentasikannya. Tapi ada yang kalian lupa, padahal ini tidak bisa dikesampingkan, ini bagian terpenting, kebutuhan terpenting bagi pasien dan kalian tidak berikan itu. Ini yang membuat saya sangat kecewa terhadap sebagian besar tenaga medis dan paramedis saat ini. Ingat,pasien tidak hanya butuh pengobatan dan butuh pula pendekatan secara spiritual. Disini aspek spiritualnya kalian hilangkan. Pasien dengan diagnosa abortus, artinya pasien sedang kehilangan anaknya. Bisa kalian bayangkan bagaimana kondisi psikologis ibu dan keluarganya? Terlebih lagi ini anak pertama yang sudah lama mereka tunggu kehadirannya.” Bidan Taty menghela nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. “Saya hanya ingin menekankan, jangan pernah kalian pisahkan antara ilmu dengan agama, karena agama tidak bisa kalian pisahkan dari kehidupan kita, termasuk saat kalian menjalankan profesi kalian sebagai bidan. Berikan support mental kepada pasien kalian melalui pendekatan spiritual, karena hanya agamalah yang mampu menentramkan hati siapapun, terlebih saat pasien dalam kondisi sedih.”
Mendengar penjelasan Bidan Taty, wajah ini seperti tertampar. Bagaimana tidak? Saya yang notabene aktif di kegitan dakwah kampus tidak terpikir untuk memasukkan unsur dakwah saat menjalankan profesi saya sebagai paramedis.
Kata-kata Bidan Taty amat membekas dihati saya secara pribadi. Sejak saat itulah saya selalu gencar untuk melakukan pendekatan secara spiritual kepada pasien-pasien yang sedang saya rawat. Dalam kondisi sakit justru banyak pasien-pasien yang meninggalkan sholat. Kondisi pasien yang terpasang infuse bahkan monitor membuat mereka urung untuk sholat. Bagaimana Allah memberikan kesembuhan bila mereka lalai menjalankan sholat? Padahal kita tahu betul bahwa kesembuhan itu datangnya semata-mata karena Allah dan disaat mereka sakit justru enggan bercengkerama dengan Allah dalam sholat mereka untuk memohon kesembuhan.
Sebagai paramedis yang selalu mendapingi pasien, saya merasa bertanggungjawab penuh terhadap kondisi pasien baik secara medis maupun secara spiritualnya. Saya berusaha memfasilitasi mereka untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah Sang Pemilik Kesembuhan. Bagi ibu yang akan melahirkan saya selalu ingatkan untuk sholat dan berdoa agar memohon kelancaran selama bersalin. Begitu pula untuk pasien dengan penyakit umum. Tidak ada alasan untuk tidak sholat. Mereka yang harus bed rest saya ajari cara untuk ber-tayammum. Bagi yang tidak kuat berdiri saya anjurkan untuk duduk, bagi yang tidak kuat untuk duduk saya anjurkan untuk sholat dengan posisi tidur.
يُصَلِّيْ الْمَرِيْضُ قَائِماً إِنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ لَـمْ يَسْتَطِعْ صَلّـٰى قاَعِداً، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَسْجُدَ أَوْمَأَ، وَجَعَلَ سُجُوْدَهُ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ قَاعِداً صلّـٰى عَلٰى جَنْبِهِ اْلأَيْمَنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ عَلٰى جَنْبِهِ اْلأَيْمَنِ، صَلّـٰى مُسْتَلْقِـياً رِجْلَهُ مِمَّا يَلِي اْلقِبْلَةَ. (رواه الدار قطني)
“Orang yang sakit jika hendak melakukan shalat, apabila mampu berdiri, maka shalatnya dengan berdiri, apabila tidak mampu berdiri, maka dengan duduk, apabila tidak mampu sujud, maka dengan isyaroh dan menjadikan sujudnya lebih rendah daripada ruku’nya, apabila tetap tidak mampu, maka dengan tidur miring sambil menghadap qiblat, apabila tidak masih mampu, maka dengan mengarahkan kakinya ke arah qiblat (tidur terlentang).” (HR. Ad Daruquthni).
Penulis : Hakiki Erawati
Cileungsi, Jawa Barat
Sesi tanya jawabpun tiba, mulailah Bidan Taty mengoreksi pekerjaan yang sudah kami lakukan yang kemudian kami presentasikan tersebut. Dengan nada tegas dan berwibawa beliau bertanya, “Asuhan apa yang kurang dari presentasikan yang sudah kalian tampilkan?”
Seluruh hadirin saling berpandangan. Mereka mencoba menerka-nerka maksud yang diinginkan Bidan Taty. Kami cukup kebingungan karena menurut kami presentasinya sudah cukup sempurna. Cukup lama ruangan menjadi hening karena tidak ada yang bisa menjawab, Bidan Taty mulai memancing masiswi lainnya agar lebih aktif lagi, “Bagi yang mengetahui kekurangannya saya akan berikan nilai A pada kelompok kalian.”
Seluruh hadirin riuh bersemangat sambil berpikir keras untuk memecahkan pertanyaan Bidan Taty. Terlalu lama tidak ada jawaban raut wajah Bidan Taty berubah seperti menahan amarah. Dengan nada yang meninggi beliaupun memberikan koreksi untuk kelompok yang sedang presentasi.
“Kasus apa yang sedang kita bahas disini? Kasus abortus, secara medis kalian memang sempurna mempresentasikannya. Tapi ada yang kalian lupa, padahal ini tidak bisa dikesampingkan, ini bagian terpenting, kebutuhan terpenting bagi pasien dan kalian tidak berikan itu. Ini yang membuat saya sangat kecewa terhadap sebagian besar tenaga medis dan paramedis saat ini. Ingat,pasien tidak hanya butuh pengobatan dan butuh pula pendekatan secara spiritual. Disini aspek spiritualnya kalian hilangkan. Pasien dengan diagnosa abortus, artinya pasien sedang kehilangan anaknya. Bisa kalian bayangkan bagaimana kondisi psikologis ibu dan keluarganya? Terlebih lagi ini anak pertama yang sudah lama mereka tunggu kehadirannya.” Bidan Taty menghela nafas dalam sebelum melanjutkan ucapannya. “Saya hanya ingin menekankan, jangan pernah kalian pisahkan antara ilmu dengan agama, karena agama tidak bisa kalian pisahkan dari kehidupan kita, termasuk saat kalian menjalankan profesi kalian sebagai bidan. Berikan support mental kepada pasien kalian melalui pendekatan spiritual, karena hanya agamalah yang mampu menentramkan hati siapapun, terlebih saat pasien dalam kondisi sedih.”
Mendengar penjelasan Bidan Taty, wajah ini seperti tertampar. Bagaimana tidak? Saya yang notabene aktif di kegitan dakwah kampus tidak terpikir untuk memasukkan unsur dakwah saat menjalankan profesi saya sebagai paramedis.
Kata-kata Bidan Taty amat membekas dihati saya secara pribadi. Sejak saat itulah saya selalu gencar untuk melakukan pendekatan secara spiritual kepada pasien-pasien yang sedang saya rawat. Dalam kondisi sakit justru banyak pasien-pasien yang meninggalkan sholat. Kondisi pasien yang terpasang infuse bahkan monitor membuat mereka urung untuk sholat. Bagaimana Allah memberikan kesembuhan bila mereka lalai menjalankan sholat? Padahal kita tahu betul bahwa kesembuhan itu datangnya semata-mata karena Allah dan disaat mereka sakit justru enggan bercengkerama dengan Allah dalam sholat mereka untuk memohon kesembuhan.
Sebagai paramedis yang selalu mendapingi pasien, saya merasa bertanggungjawab penuh terhadap kondisi pasien baik secara medis maupun secara spiritualnya. Saya berusaha memfasilitasi mereka untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah Sang Pemilik Kesembuhan. Bagi ibu yang akan melahirkan saya selalu ingatkan untuk sholat dan berdoa agar memohon kelancaran selama bersalin. Begitu pula untuk pasien dengan penyakit umum. Tidak ada alasan untuk tidak sholat. Mereka yang harus bed rest saya ajari cara untuk ber-tayammum. Bagi yang tidak kuat berdiri saya anjurkan untuk duduk, bagi yang tidak kuat untuk duduk saya anjurkan untuk sholat dengan posisi tidur.
يُصَلِّيْ الْمَرِيْضُ قَائِماً إِنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ لَـمْ يَسْتَطِعْ صَلّـٰى قاَعِداً، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يَسْجُدَ أَوْمَأَ، وَجَعَلَ سُجُوْدَهُ أَخْفَضَ مِنْ رُكُوْعِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ قَاعِداً صلّـٰى عَلٰى جَنْبِهِ اْلأَيْمَنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُصَلِّيَ عَلٰى جَنْبِهِ اْلأَيْمَنِ، صَلّـٰى مُسْتَلْقِـياً رِجْلَهُ مِمَّا يَلِي اْلقِبْلَةَ. (رواه الدار قطني)
Penulis : Hakiki Erawati
Cileungsi, Jawa Barat
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)