Tahun 1995 adalah tahun yang bersejarah dalam kehidupanku. Tahun di mana ada setitik cahaya menembus hatiku sehingga aku berhasil memenan...
Tahun 1995 adalah tahun yang bersejarah dalam kehidupanku. Tahun di mana ada setitik cahaya menembus hatiku sehingga aku berhasil memenangkan pergulatan hebat di dalam hatiku. Bagaimana tidak? Dahulu aku seorang pecinta musik, lebih khususnya aku penggemar berat seorang artis sehingga hari-hariku diwarnai dengan musik. Tiada hari tanpa musik itulah falsafah hidupku dulu.
Namun suatu hari, karena penasaran dengan isi majalah ANNIDA punya teman kakakku, aku pun mulai membuka-buka majalah tersebut. Tidak ada yang menarik bagiku karena aku bukan penggemar cerpen. Namun tiba-tiba aku membaca sebuah judul artikel yang berbunyi: “Rame-Rame Ganyang Musik” (itu judul seingatku). “Dug.” Jantungku berdetak. Dengan perlahan-lahan aku membaca artikel tersebut yang ternyata berisi tentang pandangan Islam terhadap musik. Hatiku berontak. Aku tidak percaya dengan isi artikel tersebut. Beberapa hari aku tidak bisa tidur karena memikirkannya. Tiba-tiba ada ide untuk mengcopy majalah tersebut sebelum dikembalikan ke pemiliknya.
Setelah beberapa hari mengalami pergulatan batin, akhirnya aku pun berdoa, "Ya Allah, jika benar ini adalah ajaran-Mu maka hamba akan mematuhinya. Tapi hamba butuh waktu. Biarkanlah hamba meninggalkan musik secara bertahap.”
Keesokan harinya aku memperlihatkan fotocopy artikel tersebut kepada teman-temanku yang satu geng denganku. Mereka semua tidak percaya dan berontak sebagaimana diriku. Namun hal itu tidak mengurangi semangatku untuk meninggalkan musik. Aku katakan kepada teman-temanku, “Insya Allah nanti kalau sudah SMA aku mau pakai jilbab.”
Beberapa bulan kemudian tibalah hari ulang tahunku. Memang tidak ada yang istimewa di hari ulang tahunku karena aku hampir tidak pernah merayakannya. Tapi tiba-tiba teman satu gengku memberikan kado kepadaku. Dan setelah aku buka ternyata isinya sebuah kerudung berwarna putih. Aku sangat terharu. Walau mereka tidak sejalan lagi denganku tapi mereka tetap berempati kepadaku. Aku cuma bisa berdo’a semoga suatu saat nanti mereka juga akan mendapatkan setitik cahaya untuk menjadi muslimah yang sempurna.
Kini mulailah masa bagiku untuk berjuang meninggalkan musik dan memakai jilbab. Butuh waktu kurang lebih lima tahun untuk meninggalkan musik. Aku meninggalkan musik dengan cara bertahap mulai tidak mendatangi konser, kemudian tidak membeli kaset lagi, mengurangi durasi mendengarkan musik, dan lain sebagainya hingga akhirnya aku benar-benar bisa meninggalkan musik. Untunglah ada nasyid sehingga aku bisa mencari hiburan lainnya. Tapi akhirnya aku juga meninggalkan nasyid setelah mendengar ceramah dari seorang ustadz: “Mengapa Antum lebih suka mendengarkan nasyid dari pada mendengarkan kalam Allah?.” Dug bergetar hati ini. Segera aku tinggalkan nasyid dan sibuk dengan menghafalkan ayat-ayat suci al Qur’an. Ternyata mendengarkan atau melantunkan ayat-ayat suci al Qur’an itu lebih nikmat dari pada mendengarkan musik atau pun nasyid.
Sedangkan perjuanganku memakai jilbab tidaklah mudah karena tidak ada dukungan dari orang-orang di sekitarku. Aku berjuang sendiri memakai jilbab. Sesuai dengan janjiku aku memakai jilbab mulai kelas satu SMA. Saat itu modalku hanya baju seragam panjang dan tiga potong busana muslimah. Kadang malu juga baju yang kupakai itu-itu saja. Pernah kejadian ada kerabat yang meninggal dunia lalu beberapa bajunya diberikan kepadaku. Karena bajunya panjang maka kujadikan busana muslimah. Namun suatu hari ketika memakai baju tersebut ada orang yang bilang, “Kok, pakai baju PKK.” Duh, malunya. Selidik punya selidik ternyata baju yang kupakai adalah baju seragam PKK di kampung kerabatku yang meninggal itu.
Di sekolahan yang memakai jilbab cuma sedikit. Maklumlah sekolahanku negeri dan jumlah antara siswa muslim dengan non muslim hampir berimbang. Untuk kelas satu saja yang memakai jilbab cuma dua orang yaitu aku dan temanku.
Seiring dengan prosesku memakai jilbab, aku pun mulai rajin mengaji. Di sekolahanku ada kajian Nisa’ tiap jum’at. Aku pun rajin mengikutinya. Dan ternyata hal ini membuatku terpilih sebagai Kabid Nisa’. Aku berusaha menolaknya karena aku tidak pandai bicara di depan umum dan aku pun tidak faham organisasi. Namun karena terpaksa (tidak bisa menolak) dan ada semangat baru untuk berdakwah (berbagi-bagi hidayah) akhirnya aku terima juga jabatan tersebut.
Mulailah babak baru menjadi Kabid Nisa’. Aku beranikan diri berbicara di depan umum. Awalnya gugup dan kaku tapi lama-lama jadi biasa juga. Yah, semangat dakwah itu mengalahkan segala keterbatasan yang ada.
Selain tetap mengadakan kajian Nisa’ tiap jum’at, aku juga mengadakan kajian khusus dalam kelompok-kelompok kecil. Senang rasanya bisa membina teman-teman dan juga adik kelas. Lebih senang lagi jika melihat mereka ikut memakai jilbab. Bahkan ada juga yang ibunya juga ikut memakai jilbab. Sungguh suatu kebahagiaan tersendiri ketika kita mampu menjadi sarana bagi terbukanya pintu hidayah bagi orang lain. Semoga kita tetap istiqomah dalam barisan orang-orang yang berdakwah di jalan Allah SWT. Amiin.[]
Penulis : Yuni Isnaini Barokah
Surakarta, Jawa Tengah
Namun suatu hari, karena penasaran dengan isi majalah ANNIDA punya teman kakakku, aku pun mulai membuka-buka majalah tersebut. Tidak ada yang menarik bagiku karena aku bukan penggemar cerpen. Namun tiba-tiba aku membaca sebuah judul artikel yang berbunyi: “Rame-Rame Ganyang Musik” (itu judul seingatku). “Dug.” Jantungku berdetak. Dengan perlahan-lahan aku membaca artikel tersebut yang ternyata berisi tentang pandangan Islam terhadap musik. Hatiku berontak. Aku tidak percaya dengan isi artikel tersebut. Beberapa hari aku tidak bisa tidur karena memikirkannya. Tiba-tiba ada ide untuk mengcopy majalah tersebut sebelum dikembalikan ke pemiliknya.
Setelah beberapa hari mengalami pergulatan batin, akhirnya aku pun berdoa, "Ya Allah, jika benar ini adalah ajaran-Mu maka hamba akan mematuhinya. Tapi hamba butuh waktu. Biarkanlah hamba meninggalkan musik secara bertahap.”
Keesokan harinya aku memperlihatkan fotocopy artikel tersebut kepada teman-temanku yang satu geng denganku. Mereka semua tidak percaya dan berontak sebagaimana diriku. Namun hal itu tidak mengurangi semangatku untuk meninggalkan musik. Aku katakan kepada teman-temanku, “Insya Allah nanti kalau sudah SMA aku mau pakai jilbab.”
Beberapa bulan kemudian tibalah hari ulang tahunku. Memang tidak ada yang istimewa di hari ulang tahunku karena aku hampir tidak pernah merayakannya. Tapi tiba-tiba teman satu gengku memberikan kado kepadaku. Dan setelah aku buka ternyata isinya sebuah kerudung berwarna putih. Aku sangat terharu. Walau mereka tidak sejalan lagi denganku tapi mereka tetap berempati kepadaku. Aku cuma bisa berdo’a semoga suatu saat nanti mereka juga akan mendapatkan setitik cahaya untuk menjadi muslimah yang sempurna.
Kini mulailah masa bagiku untuk berjuang meninggalkan musik dan memakai jilbab. Butuh waktu kurang lebih lima tahun untuk meninggalkan musik. Aku meninggalkan musik dengan cara bertahap mulai tidak mendatangi konser, kemudian tidak membeli kaset lagi, mengurangi durasi mendengarkan musik, dan lain sebagainya hingga akhirnya aku benar-benar bisa meninggalkan musik. Untunglah ada nasyid sehingga aku bisa mencari hiburan lainnya. Tapi akhirnya aku juga meninggalkan nasyid setelah mendengar ceramah dari seorang ustadz: “Mengapa Antum lebih suka mendengarkan nasyid dari pada mendengarkan kalam Allah?.” Dug bergetar hati ini. Segera aku tinggalkan nasyid dan sibuk dengan menghafalkan ayat-ayat suci al Qur’an. Ternyata mendengarkan atau melantunkan ayat-ayat suci al Qur’an itu lebih nikmat dari pada mendengarkan musik atau pun nasyid.
Sedangkan perjuanganku memakai jilbab tidaklah mudah karena tidak ada dukungan dari orang-orang di sekitarku. Aku berjuang sendiri memakai jilbab. Sesuai dengan janjiku aku memakai jilbab mulai kelas satu SMA. Saat itu modalku hanya baju seragam panjang dan tiga potong busana muslimah. Kadang malu juga baju yang kupakai itu-itu saja. Pernah kejadian ada kerabat yang meninggal dunia lalu beberapa bajunya diberikan kepadaku. Karena bajunya panjang maka kujadikan busana muslimah. Namun suatu hari ketika memakai baju tersebut ada orang yang bilang, “Kok, pakai baju PKK.” Duh, malunya. Selidik punya selidik ternyata baju yang kupakai adalah baju seragam PKK di kampung kerabatku yang meninggal itu.
Di sekolahan yang memakai jilbab cuma sedikit. Maklumlah sekolahanku negeri dan jumlah antara siswa muslim dengan non muslim hampir berimbang. Untuk kelas satu saja yang memakai jilbab cuma dua orang yaitu aku dan temanku.
Seiring dengan prosesku memakai jilbab, aku pun mulai rajin mengaji. Di sekolahanku ada kajian Nisa’ tiap jum’at. Aku pun rajin mengikutinya. Dan ternyata hal ini membuatku terpilih sebagai Kabid Nisa’. Aku berusaha menolaknya karena aku tidak pandai bicara di depan umum dan aku pun tidak faham organisasi. Namun karena terpaksa (tidak bisa menolak) dan ada semangat baru untuk berdakwah (berbagi-bagi hidayah) akhirnya aku terima juga jabatan tersebut.
Mulailah babak baru menjadi Kabid Nisa’. Aku beranikan diri berbicara di depan umum. Awalnya gugup dan kaku tapi lama-lama jadi biasa juga. Yah, semangat dakwah itu mengalahkan segala keterbatasan yang ada.
Selain tetap mengadakan kajian Nisa’ tiap jum’at, aku juga mengadakan kajian khusus dalam kelompok-kelompok kecil. Senang rasanya bisa membina teman-teman dan juga adik kelas. Lebih senang lagi jika melihat mereka ikut memakai jilbab. Bahkan ada juga yang ibunya juga ikut memakai jilbab. Sungguh suatu kebahagiaan tersendiri ketika kita mampu menjadi sarana bagi terbukanya pintu hidayah bagi orang lain. Semoga kita tetap istiqomah dalam barisan orang-orang yang berdakwah di jalan Allah SWT. Amiin.[]
Penulis : Yuni Isnaini Barokah
Surakarta, Jawa Tengah
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)