Saat jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, kami berdiri di depan gerbang sekolah bersiap menyambut anak didik kami dengan sen...
Saat jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, kami berdiri di depan gerbang sekolah bersiap menyambut anak didik kami dengan senyuman. Satu demi satu anak-anak pun datang silih berganti. Dengan penuh semangat mereka pun mengucapkan salam sambil mencium tangan kami. Terlihat jelas keceriaan di wajah mereka meskipun ada juga beberapa anak yang matanya terlihat sayup-sayup karena masih belajar untuk bangun pagi. Begitulah keseharian kami, para guru yang mengabdi di sebuah sekolah dasar di kabupaten Subang.
Bagi kebanyakan orang, apa yang kami lakukan tak lebih dari sebuah pekerjaan biasa untuk mencari sesuap nasi seperti halnya pekerjaan lainnya. Namun bagi kami, sekolah adalah ladang dakwah yang kami yakini akan mampu mengantarkan kami untuk mencapai ridha-Nya. Jika kebanyakan orang berpikir bahwa tugas kami hanyalah mengajarkan siswa membaca, menghapal dan berhitung maka sesungguhnya yang kami lakukan lebih dari itu.
Dalam pandangan kami setiap anak didik adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan dididik dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu tanggung jawab kami tidak sebatas pada mentransfer ilmu sesuai dengan tuntutan kurikulum, namun juga bagaimana agar mereka benar-benar siap untuk menjadi panah-panah dakwah yang siap dilemparkan ke berbagai penjuru nusantara bahkan penjuru dunia.
Untuk mencapai tujuan tersebut menanamkan nilai-nilai akhlak mulia tentunya bukan hanya menjadi kewajiban guru pendidikan agama saja namun juga kewajiban semua guru di sekolah kami. Bagi seorang guru matematika, mengajarkan angka 5 tidak cukup dengan hanya memberikan contoh berupa jumlah jari tangan, namun juga dapat dikaitkan dengan kewajiban shalat 5 waktu ataupun rukun Islam yang jumlahnya 5.
Penanaman nilai-nilai keislaman pada setiap mata pelajaran semacam ini tentu saja tidak hanya bermanfaat bagi siswa semata, namun juga bagi orang tua siswa yang bersangkutan. Adanya seorang ayah yang terharu dan tergugah untuk shalat berjamaah di masjid karena melihat anaknya langsung bersiap-siap pergi ke masjid setiap kali adzan berkumandang, sejatinya merupakan buah manis dari sebuah proses penanaman nilai-nilai dakwah yang selama ini dilakukan di sekolah.
Sayangnya proses penanaman nilai-nilai dakwah semacam ini sering kali luput dari pandangan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi mengingat di lapangan masih banyak pendidik yang menjadikan sekolah hanya sebagai tempat untuk mencari nafkah semata maupun menganggap tugas seoramg guru hanyalah sebatas mengajar. Oleh karena itu sebagai seorang pendidik penulis mengajak kepada para pendidik lainnya untuk menjadikan sekolah sebagai ladang dakwah kita karena pada dasarnya setiap pendidik adalah da’i yang bertugas menyeru kepada kebaikan. Dengan begitu dimasa depan akan lahir generasi unggul yang rahmatan lil’alamiin di bumi nusantara tercinta ini.
Penulis : Ramdan Hamdani, S.Pd
Subang, Jawa Barat
Bagi kebanyakan orang, apa yang kami lakukan tak lebih dari sebuah pekerjaan biasa untuk mencari sesuap nasi seperti halnya pekerjaan lainnya. Namun bagi kami, sekolah adalah ladang dakwah yang kami yakini akan mampu mengantarkan kami untuk mencapai ridha-Nya. Jika kebanyakan orang berpikir bahwa tugas kami hanyalah mengajarkan siswa membaca, menghapal dan berhitung maka sesungguhnya yang kami lakukan lebih dari itu.
Dalam pandangan kami setiap anak didik adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dan dididik dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu tanggung jawab kami tidak sebatas pada mentransfer ilmu sesuai dengan tuntutan kurikulum, namun juga bagaimana agar mereka benar-benar siap untuk menjadi panah-panah dakwah yang siap dilemparkan ke berbagai penjuru nusantara bahkan penjuru dunia.
Untuk mencapai tujuan tersebut menanamkan nilai-nilai akhlak mulia tentunya bukan hanya menjadi kewajiban guru pendidikan agama saja namun juga kewajiban semua guru di sekolah kami. Bagi seorang guru matematika, mengajarkan angka 5 tidak cukup dengan hanya memberikan contoh berupa jumlah jari tangan, namun juga dapat dikaitkan dengan kewajiban shalat 5 waktu ataupun rukun Islam yang jumlahnya 5.
Penanaman nilai-nilai keislaman pada setiap mata pelajaran semacam ini tentu saja tidak hanya bermanfaat bagi siswa semata, namun juga bagi orang tua siswa yang bersangkutan. Adanya seorang ayah yang terharu dan tergugah untuk shalat berjamaah di masjid karena melihat anaknya langsung bersiap-siap pergi ke masjid setiap kali adzan berkumandang, sejatinya merupakan buah manis dari sebuah proses penanaman nilai-nilai dakwah yang selama ini dilakukan di sekolah.
Sayangnya proses penanaman nilai-nilai dakwah semacam ini sering kali luput dari pandangan masyarakat. Hal ini dapat dimaklumi mengingat di lapangan masih banyak pendidik yang menjadikan sekolah hanya sebagai tempat untuk mencari nafkah semata maupun menganggap tugas seoramg guru hanyalah sebatas mengajar. Oleh karena itu sebagai seorang pendidik penulis mengajak kepada para pendidik lainnya untuk menjadikan sekolah sebagai ladang dakwah kita karena pada dasarnya setiap pendidik adalah da’i yang bertugas menyeru kepada kebaikan. Dengan begitu dimasa depan akan lahir generasi unggul yang rahmatan lil’alamiin di bumi nusantara tercinta ini.
Penulis : Ramdan Hamdani, S.Pd
Subang, Jawa Barat
Tulisan ini adalah salah satu peserta
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)
Kompetisi Menulis Pengalaman Dakwah (KMPD)