Apakah Anda pernah mendapati anak seusia 10-16 tahun (menginjak kelas 4-6 Sekolah Dasar) memiliki ‘cuek’ yang tinggi terhadap hal-hal di ...
Apakah Anda pernah mendapati anak seusia 10-16 tahun (menginjak kelas 4-6 Sekolah Dasar) memiliki ‘cuek’ yang tinggi terhadap hal-hal di sekitarnya, seperti tak menoleh atau menyahut saat dipanggil, dimintai tolong, atau bahkan tak peduli ketika ada hal-hal di sekitarnya yang tak beres? Apakah anak itu yang seratus persen bersalah atau justru kita atau bahkan mungkin para orang tua sendiri yang telah melakukan ‘proses budekisasi’ (dalam bahasa Jawa budek berarti tuli)?
Seringkali orang-orang di sekitar anak menyepelekan hal-hal yang sebenarnya mendasar bagi mereka. Kita sering lupa bahwa mereka adalah imitate (peniru) yang handal terhadap hal-hal di sekitarnya. Ketika kita dalam kedaan payah sepulang kerja atau saat penat dengan bejibun aktivitas dan masalah, celoteh-celoteh ringan anak menjadi hal yang sambil lalu kita tanggapi. Bagaimana tidak, saat anak iseng menanyakan ini itu kepada orang dewasa, dengan ‘enteng’ kita jawab “ah ndak tahu lah”, “kapan-kapan saja ya jawabnya”, “jangan tanya terus”, “sudah diam”, dan berbagai kata-kata senada untuk membungkam celoteh si anak agar tak menambah lelah dan penat. Apakah Anda pernah melakukannya? Sepertinya masing-masing dari kita perlu mengoreksi diri karena hal-hal tersebut secara tidak sadar dapat membuat anak tumbuh menjadi anak yang terjangkit ‘proses budekisasi’ yang kita lakukan secara tidak sadar pada anak.
Seperti yang diungkap Dra. Sumarti Thohir dalam sebuah acara parenting, bahwa anak akan merasa percuma saja bertanya atau berbicara dengan orang dewasa, mereka juga tidak akan menjawab atau bahkan mereka akan berfikir bahwa diri mereka hanya pengganggu bagi orang dewasa. Sejak itu pun, anak tidak akan peduli pula dengan panggilan-panggilan yang datang padanya. Persis seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Lalu, jika sudah begini apakah salah si anak atau kah justru kita yang telah mendzoliminya?
Bagi hati-hati yang lembut dan masih putih itu, perhatian kecil untuk mereka merupakan suatu momen tersendiri yang akan menjadi pijakan mereka hingga dewasa kelak. Jika kita melihat anak yang baik atau pun buruk, itu pula lah gambaran kita, kita lah yang membuat mereka serupa itu. Jangan salahkan si anak, salah kan diri kita yang kurang siap dengan ilmu-ilmu untuk menumbuhkan mereka. Karena laksana mendidik anak seperti menanam pohon, anak-anak tumbuh sesuai kebutuhan dan pengalaman mereka.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,” (QS. Ibrahim : 24)
Wallahu a’lam bish showab. [Gresia Divi]
Seringkali orang-orang di sekitar anak menyepelekan hal-hal yang sebenarnya mendasar bagi mereka. Kita sering lupa bahwa mereka adalah imitate (peniru) yang handal terhadap hal-hal di sekitarnya. Ketika kita dalam kedaan payah sepulang kerja atau saat penat dengan bejibun aktivitas dan masalah, celoteh-celoteh ringan anak menjadi hal yang sambil lalu kita tanggapi. Bagaimana tidak, saat anak iseng menanyakan ini itu kepada orang dewasa, dengan ‘enteng’ kita jawab “ah ndak tahu lah”, “kapan-kapan saja ya jawabnya”, “jangan tanya terus”, “sudah diam”, dan berbagai kata-kata senada untuk membungkam celoteh si anak agar tak menambah lelah dan penat. Apakah Anda pernah melakukannya? Sepertinya masing-masing dari kita perlu mengoreksi diri karena hal-hal tersebut secara tidak sadar dapat membuat anak tumbuh menjadi anak yang terjangkit ‘proses budekisasi’ yang kita lakukan secara tidak sadar pada anak.
Seperti yang diungkap Dra. Sumarti Thohir dalam sebuah acara parenting, bahwa anak akan merasa percuma saja bertanya atau berbicara dengan orang dewasa, mereka juga tidak akan menjawab atau bahkan mereka akan berfikir bahwa diri mereka hanya pengganggu bagi orang dewasa. Sejak itu pun, anak tidak akan peduli pula dengan panggilan-panggilan yang datang padanya. Persis seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya. Lalu, jika sudah begini apakah salah si anak atau kah justru kita yang telah mendzoliminya?
Bagi hati-hati yang lembut dan masih putih itu, perhatian kecil untuk mereka merupakan suatu momen tersendiri yang akan menjadi pijakan mereka hingga dewasa kelak. Jika kita melihat anak yang baik atau pun buruk, itu pula lah gambaran kita, kita lah yang membuat mereka serupa itu. Jangan salahkan si anak, salah kan diri kita yang kurang siap dengan ilmu-ilmu untuk menumbuhkan mereka. Karena laksana mendidik anak seperti menanam pohon, anak-anak tumbuh sesuai kebutuhan dan pengalaman mereka.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,” (QS. Ibrahim : 24)
Wallahu a’lam bish showab. [Gresia Divi]