“Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi” [Jika aku tak bersama mereka, aku tak ...
[Jika aku tak bersama mereka, aku tak akan bersama selain mereka. Dan bila mereka tak bersamaku, mereka akan bersama selain aku]
“Lha ne kabeh mutung trus piye…??” begitu kata seorang murobbiyyah sore itu. Yang terjemahan bebasnya adalah “lha kalau semua ‘mogok’ terus bagaimana..?”
Seperti biasa, hari Jum’at selalu membawa berkah. Pencerahan datang tiba-tiba. Sambil menunggu jemputan bercengkramalah keduanya, si Murobbiyah dan mad’unya. Meluncurlah cerita dari bibir si mad’u mengenai kegelisahannya beberapa hari ini. Sebab dirasa-rasa bahtera dakwah kampusnya makin lama makin goyah. Lha.. kenapa??. Sebab seiring berjalannya waktu ia merasa bangunan dakwah kampusnya makin sepi penghuni. Jumlah para pengusung dakwahnya makin lama makin mendekati stadium parah, bukan malah bertambah. Meski di tengah segala keterbatasan yang ada, anggota-anggota yang tersisa masih tetap terus berusaha melangkah. Walaupun lebih bisa dibilang tertatih-tatih.
Saat regenerasi kader berjalan lambat apalagi mandeg, adalah sebuah konsekuensi jika kader-kader yang senior harus tetap terus menjalankan roda organisasi. Mereka harus tetap aktif dan produktif dalam dakwah kampus tersebut. Syuro, seminar, kajian rutin, atau bahkan apapun jenis acaranya harus tetap mereka datangi. Meski saat mereka berkaca, usia mereka tak lagi muda. Bangku kuliah juga telah mereka ditinggalkan sebab telah dinyatakan lulus seusai prosesi wisuda. Bahkan mungkin beberapa dari mereka telah atau juga akan menikah. Dunia yang mereka geluti tak lagi dunia kampus yang penuh gelora tapi berganti dunia kerja yang harus mereka jalani. Namun, lagi-lagi itu bukan jadi alasan mreka untuk pergi. Sekali lagi tidak. Sebab mereka punya kesadaran, ada kewajiban yang masih harus ditunaikan hingga ada pengkaderan.
Jika bukan mereka lalu siapa lagi. Sebab jika mereka mengaku kader sejati, maka demi Allah mereka tak akan rela dakwah kampus yang telah membesarkan dan menaungi mereka selama ini mati begitu saja. Karena tak berpenghuni. Jangan disangka, godaan untuk pergi meninggalkan pasti pernah terbesit di hati. Seribu macam alasan bisa saja dibuat untuk menghalalkan mereka melakukannya. Tapi lagi-lagi, hati nurani mereka berbisik menguatkan “Jika bukan kalian…!! Siapa lagi…??” . Tak hanya itu, jika diingat kembali lewat pintu dakwah kampus inilah mereka mulai mengenal nikmat dalam tarbiyah. Berdakwah mengusung risalah Allah adalah nikmat. Berukhuwah penuh cinta dengan saudara seiman adalah nikmat. Saling menopang dan memecahkan persoalan dakwah demi ummat adalah nikmat. Lalu apakah persoalan personal semisal kerja, menikah, atau ambisi-ambisi pribadi akan jadi penukar yang pantas. Tidak demikian kiranya. Oleh sebab kesadaran itu semua, mereka masih tetap berusaha setia berjuang dalam dakwah kampus tersebut.
Meski, adalah manusiawi jika tak jarang mereka merasa letih. Merasa bosan dengan segala kondisi seperti ini. Jenuh seakan tak ada perubahan yang terjadi, betapapun mereka sudah berusaha. Seakan ingin berlari saja. Tapi benarlah ucapan si Murobbiyah “Lha ne kabeh mutung trus piye…??” Apa jadinya dakwah yang selama ini sudah dibangun. Siapa yang akan jadi penolong bagi agama Allah..?? Meski Allah sudah berjanji jika satu generasi lemah dan tak bisa menyandang amanah dakwah maka sudah pasti Allah akan menggantinya dengan generasi yang jauh lebih baik. Dan Allah tak pernah mengingkari janji-Nya. Mereka tahu itu. Dan lagi, alangkah ruginya jika mereka tidak turut menjadi bagian dari generasi tangguh yang dijanjikan Allah itu. Jika tidak bersama dakwah mereka berjalan lalu bersama siapa lagi. Sedangkan tanpa mereka, dakwah akan terus berjalan. Maka, pilihan terbaik adalah tetap bertahan.[Kembang Pelangi]