Piala Dunia 2010 baru saja usai dengan keberhasilan Spanyol menjadi juara. Menit ke 117, gol tercipta melalui tendangan keras Andres Iniesta...
Piala Dunia 2010 baru saja usai dengan keberhasilan Spanyol menjadi juara. Menit ke 117, gol tercipta melalui tendangan keras Andres Iniesta dari dalam kotak penalti, setelah mendapat bola sodoran dari Xavi. Membuat serunya permainan terakhir yang disaksikan milyaran pasang mata itu menjadi 1-0 dan tidak berubah sampai peluit panjang wasit terdengar.
Di pagi hari, sekitar pukul 06.15 saat kami berangkat mengantar si sulung masuk SDIT untuk pertama kalinya, terdengar obrolan bapak-bapak yang cukup miris. "Waduh, banyak yang meleset taruhan tadi. Banyak yang njago Belanda." Begitu kira-kira bapak-bapak di jalan sebuah kampung menyesali kekalahannya; bertaruh.
Piala dunia, sejak awal digelar 11 Juni lalu memang banyak menyita perhatian. Bersamaan dengan itu, muncullah para petaruh: ada pendatang baru, tidak sedikit yang petaruh lama. Ada yang hanya 50 atau 100 ribuan, tidak sedikit yang taruhannya sampai jutaan. Dan di Indonesia, negeri muslim terbesar ini, jumlah petaruh ternyata sangat besar.
Budaya instan mungkin berperan mendorong jumlah mereka. Bukankah hanya dalam 2 x 45 menit mereka bisa mendapatkan uang saat menang taruhan? Jumlah yang mereka dapatkan itu setara dengan bekerja sehari atau bahkan bekerja sebulan. Betapa mudahnya. Namun bagi yang kalah... ia kehilangan hasil keringatnya sehari atau bahkan sebulan. Betapa sedihnya jika membayangkan istri atau anaknya yang terzalimi karena uang belanja atau biaya sekolah yang harusnya diterima menjadi lenyap seketika...
Ada pula yang mungkin motifnya bersenang-senang saat taruhan dan menambah serunya menyaksikan piala dunia. Biasanya jumlah taruhan tidak banyak. Seperti beberapa hari lalu, teman kerja mengatakan (atau tepatnya kelepasan bicara) bahwa suaminya ikut taruhan agar lebih seru dan menantang saat menonton bersama teman-teman.
Apapun motif dan alasannya, faktor penentu sebenarnya adalah iman. Mereka yang beriman dan terjaga imannya, memahami bahwa taruhan yang tidak lain adalah judi itu, merupakan pekerjaan yang diharamkan oleh Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Ma'idah : 90)
Apalagi judi merupakan salah satu dosa besar. Seorang mukmin dengan komitmen keimanannya akan berusaha menjauhinya. Bahkan sesuai hadits Rasulullah, dalam masalah ini tidak boleh ada alasan tidak mampu. Berbeda dengan perintah, seseorang hanya berkewajiban menjalankan sesuai kemampuannya. Sebagaimana sabda Rasulullah :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apa yang aku larang atas kalian, jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, lakukanlah semampu kalian (HR. Muslim)
Maka bagi bapak-bapak petaruh yang menyesali kekalahannya semalam, selain dosa yang mengancam, tentu ada kerugian materi dan kekecewaan. Sementara bagi yang menang, selain dosa bukan keuntungan yang mereka peroleh karena kemenangan bertaruh hanya menghasilkan uang haram.
Masih ada bahaya besar yang mengancam sebagian petaruh. Yakni saat mereka memadukan antara taruhan dan ramalan. Entah mendatangi dukun, mempercayai Paul si gurita, ataupun Mani si kakaktua. Perhatikanlah ancaman dalam hadits berikut :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima sholatnya selama 40 malam. (HR. Muslim)
Lebih hebat lagi, -na'udzubillah- hadits berikut tidak ada tandingan kerugiannya:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Barangsiapa yang mendatangi dukun atau paranormal lalu membenarkan ucapannya, maka ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad. (HR. Ahmad)
Ada hal-hal positif dalam piala dunia yang mestinya bisa kita ambil tatkala kita menjadi penggemar bola. Diantaranya adalah sportifitas dan semangat para petarungnya. Thomas Mueller yang meraih sepatu emas, Maradona yang terus menangis dan berencana untuk mundur dari kursi pelatih setelah Argentina terhenti di perempat final karena kalah 0-4 dari Jerman, serta supertim Belanda dan Spanyol yang maju ke babak final. Tapi entah mengapa, lebih banyak yang memilih jadi petaruh alih-alih terinspirasi untuk menjadi petarung. [Muchlisin]
Di pagi hari, sekitar pukul 06.15 saat kami berangkat mengantar si sulung masuk SDIT untuk pertama kalinya, terdengar obrolan bapak-bapak yang cukup miris. "Waduh, banyak yang meleset taruhan tadi. Banyak yang njago Belanda." Begitu kira-kira bapak-bapak di jalan sebuah kampung menyesali kekalahannya; bertaruh.
Piala dunia, sejak awal digelar 11 Juni lalu memang banyak menyita perhatian. Bersamaan dengan itu, muncullah para petaruh: ada pendatang baru, tidak sedikit yang petaruh lama. Ada yang hanya 50 atau 100 ribuan, tidak sedikit yang taruhannya sampai jutaan. Dan di Indonesia, negeri muslim terbesar ini, jumlah petaruh ternyata sangat besar.
Budaya instan mungkin berperan mendorong jumlah mereka. Bukankah hanya dalam 2 x 45 menit mereka bisa mendapatkan uang saat menang taruhan? Jumlah yang mereka dapatkan itu setara dengan bekerja sehari atau bahkan bekerja sebulan. Betapa mudahnya. Namun bagi yang kalah... ia kehilangan hasil keringatnya sehari atau bahkan sebulan. Betapa sedihnya jika membayangkan istri atau anaknya yang terzalimi karena uang belanja atau biaya sekolah yang harusnya diterima menjadi lenyap seketika...
Ada pula yang mungkin motifnya bersenang-senang saat taruhan dan menambah serunya menyaksikan piala dunia. Biasanya jumlah taruhan tidak banyak. Seperti beberapa hari lalu, teman kerja mengatakan (atau tepatnya kelepasan bicara) bahwa suaminya ikut taruhan agar lebih seru dan menantang saat menonton bersama teman-teman.
Apapun motif dan alasannya, faktor penentu sebenarnya adalah iman. Mereka yang beriman dan terjaga imannya, memahami bahwa taruhan yang tidak lain adalah judi itu, merupakan pekerjaan yang diharamkan oleh Allah SWT.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Ma'idah : 90)
Apalagi judi merupakan salah satu dosa besar. Seorang mukmin dengan komitmen keimanannya akan berusaha menjauhinya. Bahkan sesuai hadits Rasulullah, dalam masalah ini tidak boleh ada alasan tidak mampu. Berbeda dengan perintah, seseorang hanya berkewajiban menjalankan sesuai kemampuannya. Sebagaimana sabda Rasulullah :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Apa yang aku larang atas kalian, jauhilah. Dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, lakukanlah semampu kalian (HR. Muslim)
Maka bagi bapak-bapak petaruh yang menyesali kekalahannya semalam, selain dosa yang mengancam, tentu ada kerugian materi dan kekecewaan. Sementara bagi yang menang, selain dosa bukan keuntungan yang mereka peroleh karena kemenangan bertaruh hanya menghasilkan uang haram.
Masih ada bahaya besar yang mengancam sebagian petaruh. Yakni saat mereka memadukan antara taruhan dan ramalan. Entah mendatangi dukun, mempercayai Paul si gurita, ataupun Mani si kakaktua. Perhatikanlah ancaman dalam hadits berikut :
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Barangsiapa yang mendatangi paranormal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima sholatnya selama 40 malam. (HR. Muslim)
Lebih hebat lagi, -na'udzubillah- hadits berikut tidak ada tandingan kerugiannya:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Barangsiapa yang mendatangi dukun atau paranormal lalu membenarkan ucapannya, maka ia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad. (HR. Ahmad)
Ada hal-hal positif dalam piala dunia yang mestinya bisa kita ambil tatkala kita menjadi penggemar bola. Diantaranya adalah sportifitas dan semangat para petarungnya. Thomas Mueller yang meraih sepatu emas, Maradona yang terus menangis dan berencana untuk mundur dari kursi pelatih setelah Argentina terhenti di perempat final karena kalah 0-4 dari Jerman, serta supertim Belanda dan Spanyol yang maju ke babak final. Tapi entah mengapa, lebih banyak yang memilih jadi petaruh alih-alih terinspirasi untuk menjadi petarung. [Muchlisin]