Hari itu, kira-kira pertengahan antara khitbah dan walimah. Seorang ikhwah menemui saya dan mengatakan: "Akhi, perasaan ana berubah....
Hari itu, kira-kira pertengahan antara khitbah dan walimah. Seorang ikhwah menemui saya dan mengatakan: "Akhi, perasaan ana berubah." Sepintas saya agak khawatir. Saya sudah menebak kalau ini berkaitan erat dengan rencana pernikahannya. Namun saya tidak mau larut dalam detik-detik ketidakjelasan. "Berubah bagaimana maksud antum?"
Ikhwah ini menghela nafas. Sepertinya akan ada jawaban hebat yang akan keluar dari lisannya dan dipersaksikan kepada dunia. "Ana mulai mencintainya" Alhamdulillah... Plong! Betapa bahagianya mendengar penuturan itu.
Pernikahan Islami memang unik. Ada tantangan tersendiri bersamaan dengan kesucian jalannya. Islam tidak memperbolehkan pacaran. Sementara menurut penganutnya, pacaran dianggap sebagai jalan untuk menjalin kedekatan dan penjajakan hingga kecocokan tercipta sebelum pernikahan. Logikanya, jika kecocokan telah terjalin dan kepastian cinta didapatkan, keduanya bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan lebih mudah dan harmonis. Pernikahan, dengan demikian, bukan lagi upaya coba-coba karena hanya melanjutkan proses yang telah dijalani sebelumnya.
Namun, argumen ini semakin terbantahkan. Lihatlah, betapa banyaknya suami istri yang bercerai bahkan di usia muda pernikahan mereka padahal mereka telah lama berpacaran. Usia pernikahan tidak lebih lama dari usia pacarannya. Apalagi para artis, masya Allah banyaknya kasus mereka! Mengapa? Karena pacaran tidak sama dengan pernikahan. Pacaran tidak bisa diidentikkan seperti on the job training pada pekerjaan sebenarnya bernama keluarga.
Sebab lainnya terletak pada motif. Mengapa pernikahan Islami yang tanpa pacaran justru bertahan lama. Pun dengan pernikahan orangtua-orangtua kita yang tanpa pacaran? Motif mereka –insya Allah- adalah motif yang suci, bukan motif fisikal atau seksual semata. Motif terakhir ini yang sering mendominasi saat pacaran dan pernikahan yang mengakhirinya.
Tanpa pacaran, bukan berarti Islam mengabaikan cinta saat pernikahan. Ketiadaan cinta bisa menjadi sebab perceraian. Lihatlah misalnya pengaduan istri Qais bin Tsabit yang diriwayatkan Imam Bukhari berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتُبُ عَلَيْهِ فِى خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ ، وَلَكِنِّى أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِى الإِسْلاَمِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً
Dari Ibnu Abbas RA, bahwasannya istri Qais bin Tsabit datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, Tsabit bin Qais, aku tidak mencela agama dan akhlaknya, akan tetapi aku tidak ingin kafir (karena durhaka pada suami) setelah aku masuk Islam.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai mahar)?.” Dia menjawab: “Ya”. Maka Nabi bersabda (kepada Qais): “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan thalaq satu”. (HR. Bukhari)
Rumah tangga Qais tidak bertahan lama karena istrinya tidak mencintainya. Sebelumnya, si istri memang belum pernah bertemu dengan Qais. Begitu menikah dan mengetahui suaminya –yang digambarkan hitam dan jelek- Qais tidak bisa menerima. Maka, hadits di atas menjadi akhir perjalanan rumah tangga mereka.
Sekali lagi, Islam tidak mengabaikan cinta. Namun... jangan salah paham di sini. Cinta yang dimaksud sebagai bekal pernikahan bukanlah cinta yang mengurat nadi seperti dua insan yang berpacaran. Apalagi seperti Qais dan Laila atau Romeo dan Juliet. Cukuplah jika ada chemistry (kimia jiwa) saat melihat calon suami atau calon istri. Itu semacam getar-getar jiwa ketika melihatnya. Dalam Islam, ini difasilitasi oleh forum yang disebut nadhar. Yakni saat calon suami dan calon istri dipertemukan terlebih dahulu agar bisa saling melihat dan menemukan "kecocokan" di sana. Tentu yang boleh dilihat saat itu adalah bukan aurat: hanya wajah dan telapak tangan. Kata Imam Syafi'i, "Dari wajah engkau bisa melihat seseorang itu cantik atau tidak, dari telapak tangan engkau bisa melihat gemuk atau kurusnya." Jika sekarang ada istilah ta'aruf, barangkali itu adalah bentuk lain nadhar yang ada dalam hadits Nabi.
Keterpautan jiwa seperti itu perlu dimiliki oleh kedua insan yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun cinta yang lebih dalam, ia akan berkembang sejalan dengan hari-hari yang dilalui bersama oleh keduanya kelak. Jika hadits Istri Qais mengajarkan ketiadaan rasa suka bisa menyiksa jiwa dan mengakhiri ikatan rumah tangga, sesungguhnya pernikahan memerlukan modal awal kimia jiwa itu; sebagai tunas cinta yang akan menjulang mengangkasa. "Jauh sebelum cinta menjelma menjadi pertemuan dua fisik," kata Anis Matta dalam Serial Cinta, "ia terlebih dahulu bertaut di alam jiwa. Jika ada pertemuan fisik yang tidak didahului oleh pertemuan jiwa itu bukanlah cinta."
Lalu bagaimana dengan suami istri yang ketika menikah dulu jiwanya begitu datar kecuali karena adanya dorongan suci mengikuti sunnah Nabi? Tenang. Sebab cinta merupakan kata kerja, maka ia bisa dibangun pada ruang datar jiwa sekalipun. Asalkan tidak seekstrim Istri Qais, ketidaksukannya. "Bahwa cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau jenggot rapi," kata Salim A. Fillah dalam Jalan Cinta para Pejuang. "Bahwa, sebagaimana cinta kepada Allah yang tak serta merta mengisi hati kita, setiap cinta memang harus diupayakan. Dengan kerja, dengan pengorbanan, dengan air mata, dan bahkan darah."
Saya tidak tahu bagaimana upaya ikhwah yang saya ceritakan di awal tulisan ini untuk mengubah hatinya menjadi cinta. Satu yang pasti, cinta yang tumbuh tepat pada waktunya adalah karunia Ilahi yang patut disyukuri. Mungkin ada kimia jiwa saat keduanya dipertemukan dalam ta'aruf. Apapun, pada ikhwah itu yang kini telah merasakan bahagianya merayakan cinta –dan juga bagi Anda semua yang menapaki jalan sama- terlantun sebuah doa: Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a bainakumaa fii khair. [Muchlisin]
Ikhwah ini menghela nafas. Sepertinya akan ada jawaban hebat yang akan keluar dari lisannya dan dipersaksikan kepada dunia. "Ana mulai mencintainya" Alhamdulillah... Plong! Betapa bahagianya mendengar penuturan itu.
Pernikahan Islami memang unik. Ada tantangan tersendiri bersamaan dengan kesucian jalannya. Islam tidak memperbolehkan pacaran. Sementara menurut penganutnya, pacaran dianggap sebagai jalan untuk menjalin kedekatan dan penjajakan hingga kecocokan tercipta sebelum pernikahan. Logikanya, jika kecocokan telah terjalin dan kepastian cinta didapatkan, keduanya bisa mengarungi bahtera rumah tangga dengan lebih mudah dan harmonis. Pernikahan, dengan demikian, bukan lagi upaya coba-coba karena hanya melanjutkan proses yang telah dijalani sebelumnya.
Namun, argumen ini semakin terbantahkan. Lihatlah, betapa banyaknya suami istri yang bercerai bahkan di usia muda pernikahan mereka padahal mereka telah lama berpacaran. Usia pernikahan tidak lebih lama dari usia pacarannya. Apalagi para artis, masya Allah banyaknya kasus mereka! Mengapa? Karena pacaran tidak sama dengan pernikahan. Pacaran tidak bisa diidentikkan seperti on the job training pada pekerjaan sebenarnya bernama keluarga.
Sebab lainnya terletak pada motif. Mengapa pernikahan Islami yang tanpa pacaran justru bertahan lama. Pun dengan pernikahan orangtua-orangtua kita yang tanpa pacaran? Motif mereka –insya Allah- adalah motif yang suci, bukan motif fisikal atau seksual semata. Motif terakhir ini yang sering mendominasi saat pacaran dan pernikahan yang mengakhirinya.
Tanpa pacaran, bukan berarti Islam mengabaikan cinta saat pernikahan. Ketiadaan cinta bisa menjadi sebab perceraian. Lihatlah misalnya pengaduan istri Qais bin Tsabit yang diriwayatkan Imam Bukhari berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتُبُ عَلَيْهِ فِى خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ ، وَلَكِنِّى أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِى الإِسْلاَمِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً
Dari Ibnu Abbas RA, bahwasannya istri Qais bin Tsabit datang kepada Nabi SAW dan berkata: “Ya Rasulullah, Tsabit bin Qais, aku tidak mencela agama dan akhlaknya, akan tetapi aku tidak ingin kafir (karena durhaka pada suami) setelah aku masuk Islam.” Maka Rasulullah SAW bersabda: “Apakah kamu bersedia mengembalikan kebunnya (yang ia berikan sebagai mahar)?.” Dia menjawab: “Ya”. Maka Nabi bersabda (kepada Qais): “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia dengan thalaq satu”. (HR. Bukhari)
Rumah tangga Qais tidak bertahan lama karena istrinya tidak mencintainya. Sebelumnya, si istri memang belum pernah bertemu dengan Qais. Begitu menikah dan mengetahui suaminya –yang digambarkan hitam dan jelek- Qais tidak bisa menerima. Maka, hadits di atas menjadi akhir perjalanan rumah tangga mereka.
Sekali lagi, Islam tidak mengabaikan cinta. Namun... jangan salah paham di sini. Cinta yang dimaksud sebagai bekal pernikahan bukanlah cinta yang mengurat nadi seperti dua insan yang berpacaran. Apalagi seperti Qais dan Laila atau Romeo dan Juliet. Cukuplah jika ada chemistry (kimia jiwa) saat melihat calon suami atau calon istri. Itu semacam getar-getar jiwa ketika melihatnya. Dalam Islam, ini difasilitasi oleh forum yang disebut nadhar. Yakni saat calon suami dan calon istri dipertemukan terlebih dahulu agar bisa saling melihat dan menemukan "kecocokan" di sana. Tentu yang boleh dilihat saat itu adalah bukan aurat: hanya wajah dan telapak tangan. Kata Imam Syafi'i, "Dari wajah engkau bisa melihat seseorang itu cantik atau tidak, dari telapak tangan engkau bisa melihat gemuk atau kurusnya." Jika sekarang ada istilah ta'aruf, barangkali itu adalah bentuk lain nadhar yang ada dalam hadits Nabi.
Keterpautan jiwa seperti itu perlu dimiliki oleh kedua insan yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun cinta yang lebih dalam, ia akan berkembang sejalan dengan hari-hari yang dilalui bersama oleh keduanya kelak. Jika hadits Istri Qais mengajarkan ketiadaan rasa suka bisa menyiksa jiwa dan mengakhiri ikatan rumah tangga, sesungguhnya pernikahan memerlukan modal awal kimia jiwa itu; sebagai tunas cinta yang akan menjulang mengangkasa. "Jauh sebelum cinta menjelma menjadi pertemuan dua fisik," kata Anis Matta dalam Serial Cinta, "ia terlebih dahulu bertaut di alam jiwa. Jika ada pertemuan fisik yang tidak didahului oleh pertemuan jiwa itu bukanlah cinta."
Lalu bagaimana dengan suami istri yang ketika menikah dulu jiwanya begitu datar kecuali karena adanya dorongan suci mengikuti sunnah Nabi? Tenang. Sebab cinta merupakan kata kerja, maka ia bisa dibangun pada ruang datar jiwa sekalipun. Asalkan tidak seekstrim Istri Qais, ketidaksukannya. "Bahwa cinta bukanlah gejolak hati yang datang sendiri melihat paras ayu atau jenggot rapi," kata Salim A. Fillah dalam Jalan Cinta para Pejuang. "Bahwa, sebagaimana cinta kepada Allah yang tak serta merta mengisi hati kita, setiap cinta memang harus diupayakan. Dengan kerja, dengan pengorbanan, dengan air mata, dan bahkan darah."
Saya tidak tahu bagaimana upaya ikhwah yang saya ceritakan di awal tulisan ini untuk mengubah hatinya menjadi cinta. Satu yang pasti, cinta yang tumbuh tepat pada waktunya adalah karunia Ilahi yang patut disyukuri. Mungkin ada kimia jiwa saat keduanya dipertemukan dalam ta'aruf. Apapun, pada ikhwah itu yang kini telah merasakan bahagianya merayakan cinta –dan juga bagi Anda semua yang menapaki jalan sama- terlantun sebuah doa: Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a bainakumaa fii khair. [Muchlisin]