Kita biasanya menggunakan ayat ini untuk melindungi diri dari ketidakmauan atas nama ketidakmampuan. Atau dari lemahnya ghirah atas nama ket...
Kita biasanya menggunakan ayat ini untuk melindungi diri dari ketidakmauan atas nama ketidakmampuan. Atau dari lemahnya ghirah atas nama keterbatasan. Dalam mukhayam ini juga bisa terjadi. Disuruh push up sekian kali, sudah tidak kuat. Disuruh sit up sekian kali, tidak mampu lagi.
Penggunaan ayat ini juga pernah menjadi cerita tersendiri dalam aktifitas jihad. Saat itu Syaikh Abdullah Azzam tengah melatih mujahidin Afghan. Para mujahidin disuruh berlari sekian kali mengelilingi lapangan. Belum selesai target itu tercapai, ada yang berhenti seraya mengatakan: ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Tidak berapa lama kemudian ada lagi yang berhenti dengan mengucapkan ayat yang sama: ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...” Disusul peserta berikutnya ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Melihat kondisi itu, Syaikh Abdullah Azzam berlari mengelilingi lapangan. Sepuluh kali... dua puluh kali... para mujahidin heran. ”Mendapat energi dari mana syaikh kita ini?” begitu mungkin pikir mereka. Sampai pada putaran kesekian yang sudah di luar ambang pikiran mereka. Syaikh Abdullah Azzam terus berlari... sampai kemudian ia berhenti karena pingsan. Setelah sadar beliau mengatakan: ”Kalau sudah begini, barulah ’Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...’”
Subhaanallah... itulah seorang pembangkit jihad di abad modern. Ia tidak hanya alim dalam menafsirkan ayat-ayat jihad dan menggelorakan semangat melalui bukunya Tarbiyah Jihadiyah, tetapi juga membawa pemahaman ilmunya dalam dunia nyata.
Tentu pembatasan kemampuan dengan membawa ayat ini sebagai alasan tidak hanya terjadi di lapangan mukhayam dan medan jihad. Jika kita mau jujur, seringkali kita juga menggunakannya dalam berbagai kesempatan.
Seorang ADK pernah ketika forum bersama menjelaskan bahwa rekrutmen yang dilakukan sangat jauh dari target yang direncanakan. Mengakhiri laporannya, ia memakai alasan yang sama ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Mungkin juga terjadi, seorang karyawan tidak menyelesaikan pekerjaannya kemudian berdalih ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Atau seorang pemimpin yang gagal membawa kemajuan bagi organisasinya. Ia pun berujar ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Atau seorang suami yang bahkan tidak memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin rumah tangga dan melupakan hak anaknya. Ia berargumen ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Ayat yang benar. Pemaknaannya yang perlu diluruskan. Memang berat bersikap seperti Syaikh Abdullah Azzam. Namun kita tetap perlu berusaha, setidaknya... mendekatinya. [Muchlisin]
Penggunaan ayat ini juga pernah menjadi cerita tersendiri dalam aktifitas jihad. Saat itu Syaikh Abdullah Azzam tengah melatih mujahidin Afghan. Para mujahidin disuruh berlari sekian kali mengelilingi lapangan. Belum selesai target itu tercapai, ada yang berhenti seraya mengatakan: ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Tidak berapa lama kemudian ada lagi yang berhenti dengan mengucapkan ayat yang sama: ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...” Disusul peserta berikutnya ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Melihat kondisi itu, Syaikh Abdullah Azzam berlari mengelilingi lapangan. Sepuluh kali... dua puluh kali... para mujahidin heran. ”Mendapat energi dari mana syaikh kita ini?” begitu mungkin pikir mereka. Sampai pada putaran kesekian yang sudah di luar ambang pikiran mereka. Syaikh Abdullah Azzam terus berlari... sampai kemudian ia berhenti karena pingsan. Setelah sadar beliau mengatakan: ”Kalau sudah begini, barulah ’Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...’”
Subhaanallah... itulah seorang pembangkit jihad di abad modern. Ia tidak hanya alim dalam menafsirkan ayat-ayat jihad dan menggelorakan semangat melalui bukunya Tarbiyah Jihadiyah, tetapi juga membawa pemahaman ilmunya dalam dunia nyata.
Tentu pembatasan kemampuan dengan membawa ayat ini sebagai alasan tidak hanya terjadi di lapangan mukhayam dan medan jihad. Jika kita mau jujur, seringkali kita juga menggunakannya dalam berbagai kesempatan.
Seorang ADK pernah ketika forum bersama menjelaskan bahwa rekrutmen yang dilakukan sangat jauh dari target yang direncanakan. Mengakhiri laporannya, ia memakai alasan yang sama ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Mungkin juga terjadi, seorang karyawan tidak menyelesaikan pekerjaannya kemudian berdalih ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Atau seorang pemimpin yang gagal membawa kemajuan bagi organisasinya. Ia pun berujar ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Atau seorang suami yang bahkan tidak memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin rumah tangga dan melupakan hak anaknya. Ia berargumen ”Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa...”
Ayat yang benar. Pemaknaannya yang perlu diluruskan. Memang berat bersikap seperti Syaikh Abdullah Azzam. Namun kita tetap perlu berusaha, setidaknya... mendekatinya. [Muchlisin]