Kemarin sore, aku dan seorang kawan berjanji bertemu di masjid. Selepas shalat, ada urusan yang hendak kami selesaikan. Urusan terkait perni...
Kemarin sore, aku dan seorang kawan berjanji bertemu di masjid. Selepas shalat, ada urusan yang hendak kami selesaikan. Urusan terkait pernikahan.
Sengaja aku datang lebih awal. Setelah memarkir motor dan mengambil wudhu, hujan turun dengan deras. Beberapa motor segera masuk ke parkir masjid. Ada yang satu keluarga dengan anak balitanya. Ada pengendara yang sendirian. Ada pula yang berduaan. Mereka berteduh. Berteduh di masjid dari hujan yang tampaknya tidak segera reda.
Masjid memang kerap menjadi tempat berteduh, khususnya bagi musafir; dari hujan seperti hujan kemarin sore itu; atau dari panas seperti siang-siang biasanya. Namun sebenarnya, masjid adalah tempat berteduh ruhiyah kita dari segala kepenatan ruhani. Inilah yang lebih penting; tapi mungkin sering kita abaikan.
Kita selalu merasa tidak nyaman jika tubuh dan pakaian kita basah oleh hujan, apalagi terciprat genangan air bercampur lumpur. Namun kita kerap mengabaikan saat jiwa kita basah oleh percikan nafsu dan lumpur dosa. Kita selalu berusaha menghindar dari teriknya matahari yang membakar kulit. Namun kita kerap acuh tak acuh, bahkan berusaha membohongi diri sendiri saat kegersangan jiwa mendera dan panasnya syahwat dunia membakar hati kita.
Beteduhlah di masjid. Sebab sebagaimana masjid secara fisik bisa menjadi tempat yang nyaman untuk berteduh dari hujan dan panas; ia adalah tempat paling nyaman bagi ruhiyah kita untuk berteduh. Asalkan kita memahaminya.
Tentu saja meneduhkan ruhiyah kita tidak sama dengan berteduh dari hujan atau panas. Tidak cukup kita hanya duduk seperti menanti hujan reda. Atau berbaring menunggu matahari sedikit tergelincir berikut meringan panasnya. Tidak. Tidak begitu caranya.
Berteduh di masjid untuk meneduhkan ruhiyah kita berarti melabuhkan jiwa ini pada Pencipta-Nya. Kita mengingat-Nya. Kita mendekat kepada-Nya. Kita bersandar dan bergantung pada-Nya. Kita beribadah kepada-Nya; di dalam rumah-Nya. Ada beragam bentuk yang diajarkan Rasulullah untuk melakukannya; shalat, i’tikaf, tilawah, dzikir, dan majlis ilmu.
Sebagaimana mendapatkan naungan dari berbagai kegalauan hati di dunia ini, mereka yang terbiasa berteduh di masjid dengan amalan-amalan itu, akan mendapatkan naungan di hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya. Dalam hadits muttafaq alaih, merekalah yang disebut dengan Rajulun qalbuhu mu’allaqun fil masaajid (Orang yang hatinya terikat dengan masjid):
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ... رَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمَسَاجِدِ
Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya: …(salah satunya) orang yang hatinya terikat dengan masjid… (Muttafaq alaih)
Mereka yang biasa membawa jiwanya berteduh di masjid adalah indikasi bahwa imannya terjaga. Sebagaimana masjid melindungi fisiknya dari panas dan hujan, ibadah seperti shalat jama’ah, shalat sunnah, dzikir, i’tikaf dan tilawah juga menjaga stabilitas imannya. Ibadah-ibadah itu berfungsi sebagai makanan ruhiyah yang menjaga kekuatan imannya. Maka Rasulullah pun menjamin keimanan umatnya yang memiliki ciri seperti ini.
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالإِيمَانِ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ( إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
Jika kalian melihat seseorang yang biasa ke masjid, maka saksikanlah bahwa ia benar-benar beriman. Allah berfirman, “Sesungguhnya, yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Tirmidzi. Ia berkata “hasan shahih”)
Mungkin benar kita telah lama tidak membawa ruhiyah kita berteduh di masjid. Mungkin karena kesibukan kita yang padat. Atau tugas-tugas kita yang semakin berat. Banyak orang yang sewaktu kuliah dulu sering meneduhkan jiwanya ke masjid, kini tidak sempat lagi. Sebab ia telah memiliki jam kerja yang panjang dalam kerjanya. Juga repotnya mengasuh anak saat sudah tiba di rumahnya.
Atau bahkan, untuk lima kali saja membawa jiwa berteduh di rumah-Nya, sangat berat dan nyaris tak pernah bisa sempurna. Padahal kita tak bisa membohongi fitrah kita, bahwa ia rindu berdekatan dengan-Nya. Untuk mengadukan segala masalah kita. Untuk melepaskan segala penat jiwa. Untuk memulihkan kembali kekuatan ruhiyah kita. Berteduhlah di masjid, wahai jiwa… [Muchlisin]
Sengaja aku datang lebih awal. Setelah memarkir motor dan mengambil wudhu, hujan turun dengan deras. Beberapa motor segera masuk ke parkir masjid. Ada yang satu keluarga dengan anak balitanya. Ada pengendara yang sendirian. Ada pula yang berduaan. Mereka berteduh. Berteduh di masjid dari hujan yang tampaknya tidak segera reda.
Masjid memang kerap menjadi tempat berteduh, khususnya bagi musafir; dari hujan seperti hujan kemarin sore itu; atau dari panas seperti siang-siang biasanya. Namun sebenarnya, masjid adalah tempat berteduh ruhiyah kita dari segala kepenatan ruhani. Inilah yang lebih penting; tapi mungkin sering kita abaikan.
Kita selalu merasa tidak nyaman jika tubuh dan pakaian kita basah oleh hujan, apalagi terciprat genangan air bercampur lumpur. Namun kita kerap mengabaikan saat jiwa kita basah oleh percikan nafsu dan lumpur dosa. Kita selalu berusaha menghindar dari teriknya matahari yang membakar kulit. Namun kita kerap acuh tak acuh, bahkan berusaha membohongi diri sendiri saat kegersangan jiwa mendera dan panasnya syahwat dunia membakar hati kita.
Beteduhlah di masjid. Sebab sebagaimana masjid secara fisik bisa menjadi tempat yang nyaman untuk berteduh dari hujan dan panas; ia adalah tempat paling nyaman bagi ruhiyah kita untuk berteduh. Asalkan kita memahaminya.
Tentu saja meneduhkan ruhiyah kita tidak sama dengan berteduh dari hujan atau panas. Tidak cukup kita hanya duduk seperti menanti hujan reda. Atau berbaring menunggu matahari sedikit tergelincir berikut meringan panasnya. Tidak. Tidak begitu caranya.
Berteduh di masjid untuk meneduhkan ruhiyah kita berarti melabuhkan jiwa ini pada Pencipta-Nya. Kita mengingat-Nya. Kita mendekat kepada-Nya. Kita bersandar dan bergantung pada-Nya. Kita beribadah kepada-Nya; di dalam rumah-Nya. Ada beragam bentuk yang diajarkan Rasulullah untuk melakukannya; shalat, i’tikaf, tilawah, dzikir, dan majlis ilmu.
Sebagaimana mendapatkan naungan dari berbagai kegalauan hati di dunia ini, mereka yang terbiasa berteduh di masjid dengan amalan-amalan itu, akan mendapatkan naungan di hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya. Dalam hadits muttafaq alaih, merekalah yang disebut dengan Rajulun qalbuhu mu’allaqun fil masaajid (Orang yang hatinya terikat dengan masjid):
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ... رَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِى الْمَسَاجِدِ
Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada hari tidak ada naungan selain naungan-Nya: …(salah satunya) orang yang hatinya terikat dengan masjid… (Muttafaq alaih)
Mereka yang biasa membawa jiwanya berteduh di masjid adalah indikasi bahwa imannya terjaga. Sebagaimana masjid melindungi fisiknya dari panas dan hujan, ibadah seperti shalat jama’ah, shalat sunnah, dzikir, i’tikaf dan tilawah juga menjaga stabilitas imannya. Ibadah-ibadah itu berfungsi sebagai makanan ruhiyah yang menjaga kekuatan imannya. Maka Rasulullah pun menjamin keimanan umatnya yang memiliki ciri seperti ini.
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالإِيمَانِ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى ( إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
Jika kalian melihat seseorang yang biasa ke masjid, maka saksikanlah bahwa ia benar-benar beriman. Allah berfirman, “Sesungguhnya, yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Tirmidzi. Ia berkata “hasan shahih”)
Mungkin benar kita telah lama tidak membawa ruhiyah kita berteduh di masjid. Mungkin karena kesibukan kita yang padat. Atau tugas-tugas kita yang semakin berat. Banyak orang yang sewaktu kuliah dulu sering meneduhkan jiwanya ke masjid, kini tidak sempat lagi. Sebab ia telah memiliki jam kerja yang panjang dalam kerjanya. Juga repotnya mengasuh anak saat sudah tiba di rumahnya.
Atau bahkan, untuk lima kali saja membawa jiwa berteduh di rumah-Nya, sangat berat dan nyaris tak pernah bisa sempurna. Padahal kita tak bisa membohongi fitrah kita, bahwa ia rindu berdekatan dengan-Nya. Untuk mengadukan segala masalah kita. Untuk melepaskan segala penat jiwa. Untuk memulihkan kembali kekuatan ruhiyah kita. Berteduhlah di masjid, wahai jiwa… [Muchlisin]