Sahabat Nabi yang kita bicarakan kali ini adalah seorang pemuda yang luar biasa kekhusyukan shalat dan tilawahnya, hingga panah yang menembu...
Sahabat Nabi yang kita bicarakan kali ini adalah seorang pemuda yang luar biasa kekhusyukan shalat dan tilawahnya, hingga panah yang menembus tubuhnya pun tak mampu memutuskan shalat dan tilawahnya. Sahabat Nabi yang juga member solusi strategi perang melawan pasukan Musailamah Al-Kadzab. Sahabat Nabi yang juga termasuk tiga orang paling utama dari kalangan Ansar menurut Aisyah, istri Rasulullah. Dialah Abbad bin Bisyr.
Selamat membaca.
***
Abbad bin Bisyr adalah sebuah nama cemerlang dalam sejarah dakwah Islamiyah. Bila Anda mencarinya diantara para abid (ahli ibadah) maka Anda akan mengatakan dia seorang yang taqwa, suci, dan menegakkan shalat setiap malam dengan membaca beberapa juz Al-Qur’an. Bila Anda mencarinya di kalangan para pahlawan, maka Anda akan mendapatinya sebagai pahlawan yang gagah berani, telah mengalami banyak pertempuran demi menegakkan kalimat Allah. Dan jika Anda melihatnya di lapangan pemerintahan, maka dia seorang penguasa yang cakap, berbobot, dan dipercaya dalam urusan harta kekayaan kaum muslimin.
Ketika Islam mulai tersiar di Yatsrib, Abbad bin Bisyr masih muda. Kulitnya yang bagus dan wajahnya yang rupawan memantulkan kesucian. Dalam kegiatan sehari-hari dia memperlihatkan tingkah laku yang baik, bersikap seperti orang-orang yang sudah matang jiwanya, meski usianya belum mencapai dua puluh lima tahun.
Dia mendekatkan diri kepada seorang dai dari Makkah, pemuda Mush’ab bin Umair. Maka dalam tempo singkat hati keduanya terikat oleh ikatan iman; bekerja sama dalam urusan-urusan yang mulia dan masalah-masalah utama. Abbad belajar membaca Qur’an kepada Mush’ab. Suaranya lapang, merdu, keras, menyejukkan dan menawan hati. Karena itu dia senang sekali membaca kalamullah, dan melapangkan tempat yang luas dalam hati kecilnya, sehingga menjadi kegiatan utama baginya. Diulang-ulanginya siang dan malam, bahkan dijadikannya suatu kewajiban. Lalu dia terkenal di kalangan para sahabat sebagai imam dan sahabat Al-Qur’an.
Pada suatu malam Rasulullah SAW shalat tahajjud di rumah Aisyah yang berdempetan dengan masjid. Terdengar oleh beliau suara Abbad bin Bisyr membaca Al-Qur’an dengan suaranya yang empuk dan lembab, laksana suara Jibril ketika menurunkan wahyu ke dalam hati beliau.
Maka Rasulullah SAW berkata , “Hai Aisyah! Suara Abbad bin Bisyr-kah itu?”
Aisyah menjawab, “Betul, ya Rasulullah!”
Beliau berdoa, “Ya Allah… ampunilah dia.”
Abbad bin Bisyr turut berperang bersama Rasulullah SAW dalam setiap peperangan yang dipimpin beliau. Dalam peperangan-peperangan itu di bertugas sebagai pembawa Al-Qur’an. Waktu Rasulullah kembali dari peperangan Dzatur Riqa’, beliau beristirahat bersama seluruh pasukan muslim pada suatu jalan di atas bukit.
Seorang prajurit muslim menawan seorang wanita musyrik dalam pertempuran, ketika wanita itu ditinggal pergi oleh suaminya. Ketika suaminya dating kembali, didapatinya istrinya sudah tiada. Dia bersumpah dengan Lata dan Uzza akan menyusul Rasulullah dan pasukan muslimin, dan tidak akan kembali kecuali setelah menumpahkan darah mereka.
Setibanya di perkemahan di atas bukit, Rasulullah bertanya kepada mereka, “Siapa yang bertugas kawal malam ini?”
Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir berdiri seraya berkata, “Kami, ya Rasulullah!” kata keduanya serentak. Rasulullah telah menjadikan mereka berdua bersaudara ketika kaum muhajirin baru tiba di Madinah. Waktu keduanya keluar ke mulut jalan (pos penjagaan), Abbad bertanya kepada Ammar, “Siapa diantara kita yang jaga lebih dahulu, sementara yang lain dapat tidur?”
“Aku yang tidur lebih dulu”, jawab Ammar yang bersiap-siap untuk berbaring tidak jauh dari tempat penjagaan.
Suasana malam itu tenang, sunyi dan lembut. Bintang-bintang, pohon-pohon, dan batu-batuan seakan sedang bertasbih memuji Tuhannya. Hati Abbad tergiur hendak turut melakukan ibadah dan membaca Al-Qur’an. Dia segera merasakan bagaimana manisnya ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacanya dalam shalat. Sehingga nikmat shalat dan nikmat tilawah berpadu menjadi satu dalam jiwanya.
Dia menghadap ke kiblat hendak shalat. Dalam shalat dibacanya surat Al-Kahfi dengan suara memilukan, lembut, dan menawan. Ketika dia sedang bertasbih dalam cahaya Ilahi yang meningkat tinggi, tenggelam dalam kelap-kelip pancarannya, seorang laki-laki dating memacu langkah tergesa-gesa. Ketika dilihatnya dari kejauhan seorang hamba Allah sedang beribadah di mulut jalan, dia maklum Rasulullah dan para shahabat pasti berada di sana. Sedangkan orang yang sedang shalat itu adalah pengawal yang bertugas jaga.
Orang itu segera menyiapkan panah dan memanah Abbad tepat mengenainya. Abbad mencabut panah yang bersarang di tubuhnya sambil meneruskan bacaan dan tenggelam dalam shalat. Orang itu memanah lagi dan mengenai Abbad dengan jitu. Abbad mencabut pula panah kedua ini dari tubuhnya seperti yang pertama. Kemudian orang itu memanah pula kali yang ketiga. Abbad mencabutnya pula seperti dua panah yang terdahulu. Giliran jaga bagi Ammar bin Yasir pun tiba. Abbad merangkak seraya berkata, “Bangun, aku luka oarah dan lemas!”
Ketika si pemanah melihat mereka berdua, orang itu segera melarikan diri. Ammar menoleh kepada Abbad. Terlihat darahnya mengucur dari tiga buah lubang luka di tubuh Abbad. Kata Ammar, “Subahanallah! Mengapa engkau tidak membangunkan ketika panah pertama mengenaimu?”
Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat dalam shalat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku sebelum selesai. Demi Allah! Kalaulah tidak karena takut akan menyia-nyiakan tugas yang dibebankan Rasulullah, menjaga mulut jalan tempat kaum muslimin berkemah, biarlah tubuhku putus daripada memutuskan bacaan dan shalat.”
Ketika perang memberantas orang-orang murtad berkecamuk di masa Abu Bakar r.a., khalifah menyiapkan pasukan perang yang besar untuk mengatasi kekacauan yang ditimbulkan Musailamah Al-Kadzab. Menundukkan orang-orang murtad yang memihak Musailamah dan mengembalikan mereka kepada Islam. Maka Abbad bin Bisyr adalah pelopor dalam ketentaraan tersebut.
Setelah diperhatikannya celah-celah pertempuran, Abbad berpendapat kaum muslimin tidak mungkin menang karena kaum Muhajirin dan kaum Ansar saling menyerahkan urusan satu sama lain. Bahkan mereka berselisih. Maka yakinlah Abbad kaum muslimin tidak akan menang dalam pertempuran dengan pasukan yang tidak kompak. Kecuali bila kaum Ansar dan Muhajirin membentuk pasukannya masing-masing dengan tanggung jawab sendiri-sendiri. Dengan begitu dapat diketahui dengan jelas mana pejuang yang sungguh-sungguh berjuang.
Suatu malam sebelum pertempuran yang menentukan, Abbad bermimpi dalam tidurnya. Seolah-olah dia melihat langit terbuka baginya. Setelah dia memasukinya, dia langsung menggabungkan diri ke dalam dan mengunci pintu, ketika subuh tiba, Abbad menceritakan mimpinya kepada Abu Said Al-Khudri. Ia mengatakan, “Demi Allah! Mimpi seperti itu benar-benar nyata, hai Abu Sa’id!”
Setelah hari siang, dan perang sudah mulai, Abbad naik ke satu bukit kecil seraya berteriak, “Hai kaum Ansar! Pecahkan sarung pedang kalian! Jangan kalian tinggalkan Islam yang terhina atau tenggelam, pasti bencana akan menimpa kalian…!”
Abbad mengulang-ulang seruannya, hingga akhirnya berkumpul di dekatnya kira-kira empat ratus prajurit. Diantaranya terdapat perwira seperti Tsabit bin Qais, Al-Barra bin Malik, dan Abu Dujanah, pemegang pedang Rasulullah.
Abbad dan pasukannya menyerbu memecahkan pasukan musuh dan menebar maut dengan pedangnya. Kemunculannya menyebabkan pasukan Musailamah Al-Kadzab terdesak mundur dan melarikan diri ke Taman Maut. Di sana dekat pagar tembok taman maut, Abbad gugur sebagai syuhada berlumuran darah syahidnya. Tubuhnya penuh dengan luka bekas pukulan pedang, tusukan lembing, dan panah yang menancap. Para sahabat hamper tak mengenalinya, kecuali setelah melihat beberapa tanda di tubuhnya.
Aisyah pernah memberikan kesaksiannya pada sahabat yang syahid di Taman Maut ini, “Ada tiga orang Anshar yang tidak seorangpun melebihi keutamaannya. Mereka adalah Sa’ad bin Muadz, Usaid bin Hudhair, dan Abbad bin Bisyr.” [Sumber: Kepahlawanan Generasi Sahabat Rasulullah]
Selamat membaca.
***
Abbad bin Bisyr adalah sebuah nama cemerlang dalam sejarah dakwah Islamiyah. Bila Anda mencarinya diantara para abid (ahli ibadah) maka Anda akan mengatakan dia seorang yang taqwa, suci, dan menegakkan shalat setiap malam dengan membaca beberapa juz Al-Qur’an. Bila Anda mencarinya di kalangan para pahlawan, maka Anda akan mendapatinya sebagai pahlawan yang gagah berani, telah mengalami banyak pertempuran demi menegakkan kalimat Allah. Dan jika Anda melihatnya di lapangan pemerintahan, maka dia seorang penguasa yang cakap, berbobot, dan dipercaya dalam urusan harta kekayaan kaum muslimin.
Ketika Islam mulai tersiar di Yatsrib, Abbad bin Bisyr masih muda. Kulitnya yang bagus dan wajahnya yang rupawan memantulkan kesucian. Dalam kegiatan sehari-hari dia memperlihatkan tingkah laku yang baik, bersikap seperti orang-orang yang sudah matang jiwanya, meski usianya belum mencapai dua puluh lima tahun.
Dia mendekatkan diri kepada seorang dai dari Makkah, pemuda Mush’ab bin Umair. Maka dalam tempo singkat hati keduanya terikat oleh ikatan iman; bekerja sama dalam urusan-urusan yang mulia dan masalah-masalah utama. Abbad belajar membaca Qur’an kepada Mush’ab. Suaranya lapang, merdu, keras, menyejukkan dan menawan hati. Karena itu dia senang sekali membaca kalamullah, dan melapangkan tempat yang luas dalam hati kecilnya, sehingga menjadi kegiatan utama baginya. Diulang-ulanginya siang dan malam, bahkan dijadikannya suatu kewajiban. Lalu dia terkenal di kalangan para sahabat sebagai imam dan sahabat Al-Qur’an.
Pada suatu malam Rasulullah SAW shalat tahajjud di rumah Aisyah yang berdempetan dengan masjid. Terdengar oleh beliau suara Abbad bin Bisyr membaca Al-Qur’an dengan suaranya yang empuk dan lembab, laksana suara Jibril ketika menurunkan wahyu ke dalam hati beliau.
Maka Rasulullah SAW berkata , “Hai Aisyah! Suara Abbad bin Bisyr-kah itu?”
Aisyah menjawab, “Betul, ya Rasulullah!”
Beliau berdoa, “Ya Allah… ampunilah dia.”
Abbad bin Bisyr turut berperang bersama Rasulullah SAW dalam setiap peperangan yang dipimpin beliau. Dalam peperangan-peperangan itu di bertugas sebagai pembawa Al-Qur’an. Waktu Rasulullah kembali dari peperangan Dzatur Riqa’, beliau beristirahat bersama seluruh pasukan muslim pada suatu jalan di atas bukit.
Seorang prajurit muslim menawan seorang wanita musyrik dalam pertempuran, ketika wanita itu ditinggal pergi oleh suaminya. Ketika suaminya dating kembali, didapatinya istrinya sudah tiada. Dia bersumpah dengan Lata dan Uzza akan menyusul Rasulullah dan pasukan muslimin, dan tidak akan kembali kecuali setelah menumpahkan darah mereka.
Setibanya di perkemahan di atas bukit, Rasulullah bertanya kepada mereka, “Siapa yang bertugas kawal malam ini?”
Abbad bin Bisyr dan Ammar bin Yasir berdiri seraya berkata, “Kami, ya Rasulullah!” kata keduanya serentak. Rasulullah telah menjadikan mereka berdua bersaudara ketika kaum muhajirin baru tiba di Madinah. Waktu keduanya keluar ke mulut jalan (pos penjagaan), Abbad bertanya kepada Ammar, “Siapa diantara kita yang jaga lebih dahulu, sementara yang lain dapat tidur?”
“Aku yang tidur lebih dulu”, jawab Ammar yang bersiap-siap untuk berbaring tidak jauh dari tempat penjagaan.
Suasana malam itu tenang, sunyi dan lembut. Bintang-bintang, pohon-pohon, dan batu-batuan seakan sedang bertasbih memuji Tuhannya. Hati Abbad tergiur hendak turut melakukan ibadah dan membaca Al-Qur’an. Dia segera merasakan bagaimana manisnya ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacanya dalam shalat. Sehingga nikmat shalat dan nikmat tilawah berpadu menjadi satu dalam jiwanya.
Dia menghadap ke kiblat hendak shalat. Dalam shalat dibacanya surat Al-Kahfi dengan suara memilukan, lembut, dan menawan. Ketika dia sedang bertasbih dalam cahaya Ilahi yang meningkat tinggi, tenggelam dalam kelap-kelip pancarannya, seorang laki-laki dating memacu langkah tergesa-gesa. Ketika dilihatnya dari kejauhan seorang hamba Allah sedang beribadah di mulut jalan, dia maklum Rasulullah dan para shahabat pasti berada di sana. Sedangkan orang yang sedang shalat itu adalah pengawal yang bertugas jaga.
Orang itu segera menyiapkan panah dan memanah Abbad tepat mengenainya. Abbad mencabut panah yang bersarang di tubuhnya sambil meneruskan bacaan dan tenggelam dalam shalat. Orang itu memanah lagi dan mengenai Abbad dengan jitu. Abbad mencabut pula panah kedua ini dari tubuhnya seperti yang pertama. Kemudian orang itu memanah pula kali yang ketiga. Abbad mencabutnya pula seperti dua panah yang terdahulu. Giliran jaga bagi Ammar bin Yasir pun tiba. Abbad merangkak seraya berkata, “Bangun, aku luka oarah dan lemas!”
Ketika si pemanah melihat mereka berdua, orang itu segera melarikan diri. Ammar menoleh kepada Abbad. Terlihat darahnya mengucur dari tiga buah lubang luka di tubuh Abbad. Kata Ammar, “Subahanallah! Mengapa engkau tidak membangunkan ketika panah pertama mengenaimu?”
Abbad menjawab, “Aku sedang membaca surat dalam shalat. Aku tidak ingin memutuskan bacaanku sebelum selesai. Demi Allah! Kalaulah tidak karena takut akan menyia-nyiakan tugas yang dibebankan Rasulullah, menjaga mulut jalan tempat kaum muslimin berkemah, biarlah tubuhku putus daripada memutuskan bacaan dan shalat.”
Ketika perang memberantas orang-orang murtad berkecamuk di masa Abu Bakar r.a., khalifah menyiapkan pasukan perang yang besar untuk mengatasi kekacauan yang ditimbulkan Musailamah Al-Kadzab. Menundukkan orang-orang murtad yang memihak Musailamah dan mengembalikan mereka kepada Islam. Maka Abbad bin Bisyr adalah pelopor dalam ketentaraan tersebut.
Setelah diperhatikannya celah-celah pertempuran, Abbad berpendapat kaum muslimin tidak mungkin menang karena kaum Muhajirin dan kaum Ansar saling menyerahkan urusan satu sama lain. Bahkan mereka berselisih. Maka yakinlah Abbad kaum muslimin tidak akan menang dalam pertempuran dengan pasukan yang tidak kompak. Kecuali bila kaum Ansar dan Muhajirin membentuk pasukannya masing-masing dengan tanggung jawab sendiri-sendiri. Dengan begitu dapat diketahui dengan jelas mana pejuang yang sungguh-sungguh berjuang.
Suatu malam sebelum pertempuran yang menentukan, Abbad bermimpi dalam tidurnya. Seolah-olah dia melihat langit terbuka baginya. Setelah dia memasukinya, dia langsung menggabungkan diri ke dalam dan mengunci pintu, ketika subuh tiba, Abbad menceritakan mimpinya kepada Abu Said Al-Khudri. Ia mengatakan, “Demi Allah! Mimpi seperti itu benar-benar nyata, hai Abu Sa’id!”
Setelah hari siang, dan perang sudah mulai, Abbad naik ke satu bukit kecil seraya berteriak, “Hai kaum Ansar! Pecahkan sarung pedang kalian! Jangan kalian tinggalkan Islam yang terhina atau tenggelam, pasti bencana akan menimpa kalian…!”
Abbad mengulang-ulang seruannya, hingga akhirnya berkumpul di dekatnya kira-kira empat ratus prajurit. Diantaranya terdapat perwira seperti Tsabit bin Qais, Al-Barra bin Malik, dan Abu Dujanah, pemegang pedang Rasulullah.
Abbad dan pasukannya menyerbu memecahkan pasukan musuh dan menebar maut dengan pedangnya. Kemunculannya menyebabkan pasukan Musailamah Al-Kadzab terdesak mundur dan melarikan diri ke Taman Maut. Di sana dekat pagar tembok taman maut, Abbad gugur sebagai syuhada berlumuran darah syahidnya. Tubuhnya penuh dengan luka bekas pukulan pedang, tusukan lembing, dan panah yang menancap. Para sahabat hamper tak mengenalinya, kecuali setelah melihat beberapa tanda di tubuhnya.
Aisyah pernah memberikan kesaksiannya pada sahabat yang syahid di Taman Maut ini, “Ada tiga orang Anshar yang tidak seorangpun melebihi keutamaannya. Mereka adalah Sa’ad bin Muadz, Usaid bin Hudhair, dan Abbad bin Bisyr.” [Sumber: Kepahlawanan Generasi Sahabat Rasulullah]