Karena takut kehilangan orang yang dicintainya, seorang wanita asal China mengajukan operasi plastik pada 2007 silam. Ini memang syarat yan...
Karena takut kehilangan orang yang dicintainya, seorang wanita asal China mengajukan operasi plastik pada 2007 silam. Ini memang syarat yang diberikan calon suaminya, Zhao Gang, untuk bisa menikah dengannya. Demi cinta, wanita itu nekat melakukan operasi plastik agar mirip dengan mantan istri Zaho Gang yang sudah meninggal.
Cinta memang memiliki logika sendiri. Demi cinta seseorang rela melakukan apapun. Dorongan itu sesungguhnya juga merupakan bukti; apakah cintanya cinta sejati atau cinta palsu.
Cinta kepada Allah adalah cinta yang sesungguhnya. Cinta hakiki yang akan membawa pemiliknya pada kebahagiaan abadi di akhirat nanti. Namun cinta ini bukan sekedar ungkapan lisan: aku mencintai-Mu ya Allah. Tidak. Tidak sesederhana itu.
Cinta kepada Allah membutuhkan pembuktian. Bukti bahwa cintanya adalah cinta sejati. Agar Allah mencintai kita, kita tidak perlu melakukan operasi plastik seperti wanita tadi. Bahkan itu justru mendatangkan kemurkaan-Nya. Allah tidak melihat fisik kita untuk melimpahkan cinta. Karena fisik adalah pemberian-Nya. Semua sama dalam pandangan-Nya. Allah akan menilai hati manusia.
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dan penampilan kalian, tetapi Allah melihat hati kalian. (HR. Muslim)
Hati yang ikhlas, tidak menduakan cinta-Nya. Hati yang tunduk, tidak mendurhakai-Nya. Hati yang pemalu untuk melakukan hal-hal yang mendatangkan kecemburuan-Nya. Hati yang takut kehilangan cinta-Nya atau dan khawatir jika ditinggalkan-Nya. Hati yang demikian lalu mewujud dalam pendekatan kepada Allah. Dengan memenuhi ibadah wajib, dan menambah dengan ibadah nawafil (sunnah).
Jika itu bisa dipenuhi, Allah dalam hadits Qudsi-Nya menjamin cinta dengan segala konsekuensinya; termasuk kuasa doa dan perlindungan-Nya:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
Seorang hamba senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan yang paling Aku cintai, yaitu apa-apa yang aku wajibkan kepadanya. Juga hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal sunnah sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku adalah pendengarannya yang digunakan untuk mendengar, penglihatannya yang digunakan untuk melihat, tangan yang digunakan untuk berbuat dan kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku memberinya, dan jika ia berlindung kepada-Ku, pasti Aku melindunginya. (HR. Bukhari)
Cinta yang tiada bandingnya dengan segenap jaminan ini hanya akan diberikan pada hamba-Nya yang mampu membuktikan cinta-Nya. Cinta sejati, bukan cinta di bibir saja. [Muchlisin]
Cinta memang memiliki logika sendiri. Demi cinta seseorang rela melakukan apapun. Dorongan itu sesungguhnya juga merupakan bukti; apakah cintanya cinta sejati atau cinta palsu.
Cinta kepada Allah adalah cinta yang sesungguhnya. Cinta hakiki yang akan membawa pemiliknya pada kebahagiaan abadi di akhirat nanti. Namun cinta ini bukan sekedar ungkapan lisan: aku mencintai-Mu ya Allah. Tidak. Tidak sesederhana itu.
Cinta kepada Allah membutuhkan pembuktian. Bukti bahwa cintanya adalah cinta sejati. Agar Allah mencintai kita, kita tidak perlu melakukan operasi plastik seperti wanita tadi. Bahkan itu justru mendatangkan kemurkaan-Nya. Allah tidak melihat fisik kita untuk melimpahkan cinta. Karena fisik adalah pemberian-Nya. Semua sama dalam pandangan-Nya. Allah akan menilai hati manusia.
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
Sesungguhnya Allah tidak melihat jasad dan penampilan kalian, tetapi Allah melihat hati kalian. (HR. Muslim)
Hati yang ikhlas, tidak menduakan cinta-Nya. Hati yang tunduk, tidak mendurhakai-Nya. Hati yang pemalu untuk melakukan hal-hal yang mendatangkan kecemburuan-Nya. Hati yang takut kehilangan cinta-Nya atau dan khawatir jika ditinggalkan-Nya. Hati yang demikian lalu mewujud dalam pendekatan kepada Allah. Dengan memenuhi ibadah wajib, dan menambah dengan ibadah nawafil (sunnah).
Jika itu bisa dipenuhi, Allah dalam hadits Qudsi-Nya menjamin cinta dengan segala konsekuensinya; termasuk kuasa doa dan perlindungan-Nya:
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
Seorang hamba senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan yang paling Aku cintai, yaitu apa-apa yang aku wajibkan kepadanya. Juga hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amal sunnah sampai Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, Aku adalah pendengarannya yang digunakan untuk mendengar, penglihatannya yang digunakan untuk melihat, tangan yang digunakan untuk berbuat dan kakinya yang digunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku pasti Aku memberinya, dan jika ia berlindung kepada-Ku, pasti Aku melindunginya. (HR. Bukhari)
Cinta yang tiada bandingnya dengan segenap jaminan ini hanya akan diberikan pada hamba-Nya yang mampu membuktikan cinta-Nya. Cinta sejati, bukan cinta di bibir saja. [Muchlisin]