Setiap zaman memiliki jiwa zamannya. Setiap zaman memiliki karakternya yang khas. Tantangan yang dihadapi satu dekade lalu tidaklah sama den...
Setiap zaman memiliki jiwa zamannya. Setiap zaman memiliki karakternya yang khas. Tantangan yang dihadapi satu dekade lalu tidaklah sama dengan tantangan yang kita hadapi sekarang. Problematika yang muncul pada era sebelumnya sudah jauh berbeda dengan problematika yang menanti di sini, kini. Peluang yang terbuka dan menjadi tren 10 tahunan silam, detik ini sudah tidak ada lagi; berganti. Maka, solusi dan kepahlawanan pada zaman ini juga tentu saja berbeda dari zaman sebelumnya. Mereka yang tidak mampu menangkap jiwa zaman (zeit geist) akan tenggelam. Mereka yang kukuh mempertahankan 'status quo' dan angkuh untuk berubah niscaya akan ditinggalkan sejarah. Masalah-masalah baru terlalu rumit untuk diselesaikan dengan pendekatan yang sama seperti zaman sebelumnya.
Mahasiswa yang kemudian terinstitusi dalam gerakan mahasiswa juga tidak terlepas dari hukum ini. Bahkan sebagai individu ia bahkan tidak bisa mengelak. Kalau hari ini kita bisa melihat satu contoh kecil, bahwa para ahli goresan spanduk telah dilipat oleh teknologi banner dengan desain grafisnya, para mahasiswa yang stagnan juga akan mendapat realita yang sama di mimbar sejarah. Mereka yang memandang bahwa aktifis haruslah demonstran militan, pergi subuh pulang larut malam, kuliah amburadul tanpa prestasi akademis membanggakan, berarti telah terjebak pada romantisme masa lalu. Menjadikan diri dan gerakan seperti 'profil lama' itu memang menjadi pilihan terbaik pada 1998-an. Tapi, bukan untuk sekarang! Aksi (demonstrasi) memang masih dibutuhkan oleh gerakan mahasiswa tapi itu tidak cukup untuk menghadapi zaman kita.
Membaca Jiwa Zaman
Maka yang diperlukan pertama kali sebelum gerakan mahasiswa melangkah lebih jauh adalah membaca jiwa zaman. Tentu ini akan mengkonsumsi stamina yang cukup besar dan analisa yang mendalam. Namun, ibarat mengasah gergaji, terlalu sedikit waktu yang diperlukan jika dibandingkan dengan ketepatan dan kecepatan yang datang kemudian untuk memotong kayu-kayu permasalahan dan membuka hutan kebuntuan menjadi peradaban kesuksesan.
Maka, kita pun perlu belajar dari sejarah. Akankah selamanya gerakan mahasiswa menjadi agent of change. Bangga dengan status itu kemudian terdiam dalam kompetisi sejarah perubahan yang justru dimulainya sendiri. Mengeluarkan segala power-nya kemudian lemas terpaku seraya berkata: “bukan perubahan seperti ini yang kita inginkan”. Implikasi lain dari mempertahankan status ini adalah gerakan mahasiswa akan “tertidur pulas” ketika tidak mendapatkan penguasa tiran yang menjadi common enemy untuk 'ditumbangkan'. Ditambah lagi arus demokratisasi yang mengalir bebas, membuat gerakan mahasiswa menjadi bonsai di tengah hegemoni partai politik seperti sekarang ini.
Director of Change
Sudah masanya mahasiswa mempertimbangkan peran yang lebih strategis, director of change. Artinya bukan sekedar kita menjadi infanteri perintis serangan, tetapi kitalah yang akan menentukan konsep pasca perubahan (baca: kemenangan). Tentu saja ini mensyaratkan pondasi persiapan yang kokoh sebab itu sama artinya dengan menjadikan mahasiswa sebagai Muslim Negarawan. Bukan berarti semua mahasiswa berambisi menjadi pejabat negara, tetapi memiliki mentalitas kontributor bagi bangsa dan negaranya.
Lalu bekal apa yang diperlukan bagi gerakan mahasiwa dalam memenuhi cita-cita tahap lanjut tersebut? Setidaknya gerakan mahasiswa harus mampu membangun enam kompetensi kritis untuk setiap kadernya: pengetahuan keislaman; kredibiltas moral; wawasan keindonesiaan; kepakaran dan profesionalisme; kepemimpinan; serta diplomasi dan jaringan. Dengan kompetensi yang pertama ia akan memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, yang selalu dibutuhkan sehingga tidak keluar dari rel 'Ilahiyah' dan cita-cita menyemai kehendak Ilahi bagi alam ini. Kompetensi yang kedua akan menjamin mahasiswa tetap memiliki idealisme dan konsistensi, tidak larut oleh efek negatif setiap zaman yang dihadapinya, tidak berbelok menjadi generasi pelanjut bagi kaum pragmatis dan oportunis. Kompetensi yang ketiga dan keempat ia butuhkan untuk membangun basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, tidak mudah didekontruksi oleh pihak lain yang memang kontra. Dengan kepemimpinan yang kompeten ia akan berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, ditunjang kompetensi diplomasi dan jaringan yang membuatnya mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan.
Menutup tulisan singkat ini, saya ingin mengutip perkataan Umar bin Khattab “Bertafaqquhlah kaliah (bangun kompetensi) sebelum kalian menjadi pemimpin, sebab setelah kalian menjadi pemimpin, tidak ada lagi waktu -yang cukup- untuk bertafaqquh” [Muchlisin]
Mahasiswa yang kemudian terinstitusi dalam gerakan mahasiswa juga tidak terlepas dari hukum ini. Bahkan sebagai individu ia bahkan tidak bisa mengelak. Kalau hari ini kita bisa melihat satu contoh kecil, bahwa para ahli goresan spanduk telah dilipat oleh teknologi banner dengan desain grafisnya, para mahasiswa yang stagnan juga akan mendapat realita yang sama di mimbar sejarah. Mereka yang memandang bahwa aktifis haruslah demonstran militan, pergi subuh pulang larut malam, kuliah amburadul tanpa prestasi akademis membanggakan, berarti telah terjebak pada romantisme masa lalu. Menjadikan diri dan gerakan seperti 'profil lama' itu memang menjadi pilihan terbaik pada 1998-an. Tapi, bukan untuk sekarang! Aksi (demonstrasi) memang masih dibutuhkan oleh gerakan mahasiswa tapi itu tidak cukup untuk menghadapi zaman kita.
Membaca Jiwa Zaman
Maka yang diperlukan pertama kali sebelum gerakan mahasiswa melangkah lebih jauh adalah membaca jiwa zaman. Tentu ini akan mengkonsumsi stamina yang cukup besar dan analisa yang mendalam. Namun, ibarat mengasah gergaji, terlalu sedikit waktu yang diperlukan jika dibandingkan dengan ketepatan dan kecepatan yang datang kemudian untuk memotong kayu-kayu permasalahan dan membuka hutan kebuntuan menjadi peradaban kesuksesan.
Maka, kita pun perlu belajar dari sejarah. Akankah selamanya gerakan mahasiswa menjadi agent of change. Bangga dengan status itu kemudian terdiam dalam kompetisi sejarah perubahan yang justru dimulainya sendiri. Mengeluarkan segala power-nya kemudian lemas terpaku seraya berkata: “bukan perubahan seperti ini yang kita inginkan”. Implikasi lain dari mempertahankan status ini adalah gerakan mahasiswa akan “tertidur pulas” ketika tidak mendapatkan penguasa tiran yang menjadi common enemy untuk 'ditumbangkan'. Ditambah lagi arus demokratisasi yang mengalir bebas, membuat gerakan mahasiswa menjadi bonsai di tengah hegemoni partai politik seperti sekarang ini.
Director of Change
Sudah masanya mahasiswa mempertimbangkan peran yang lebih strategis, director of change. Artinya bukan sekedar kita menjadi infanteri perintis serangan, tetapi kitalah yang akan menentukan konsep pasca perubahan (baca: kemenangan). Tentu saja ini mensyaratkan pondasi persiapan yang kokoh sebab itu sama artinya dengan menjadikan mahasiswa sebagai Muslim Negarawan. Bukan berarti semua mahasiswa berambisi menjadi pejabat negara, tetapi memiliki mentalitas kontributor bagi bangsa dan negaranya.
Lalu bekal apa yang diperlukan bagi gerakan mahasiwa dalam memenuhi cita-cita tahap lanjut tersebut? Setidaknya gerakan mahasiswa harus mampu membangun enam kompetensi kritis untuk setiap kadernya: pengetahuan keislaman; kredibiltas moral; wawasan keindonesiaan; kepakaran dan profesionalisme; kepemimpinan; serta diplomasi dan jaringan. Dengan kompetensi yang pertama ia akan memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, yang selalu dibutuhkan sehingga tidak keluar dari rel 'Ilahiyah' dan cita-cita menyemai kehendak Ilahi bagi alam ini. Kompetensi yang kedua akan menjamin mahasiswa tetap memiliki idealisme dan konsistensi, tidak larut oleh efek negatif setiap zaman yang dihadapinya, tidak berbelok menjadi generasi pelanjut bagi kaum pragmatis dan oportunis. Kompetensi yang ketiga dan keempat ia butuhkan untuk membangun basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, tidak mudah didekontruksi oleh pihak lain yang memang kontra. Dengan kepemimpinan yang kompeten ia akan berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, ditunjang kompetensi diplomasi dan jaringan yang membuatnya mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan.
Menutup tulisan singkat ini, saya ingin mengutip perkataan Umar bin Khattab “Bertafaqquhlah kaliah (bangun kompetensi) sebelum kalian menjadi pemimpin, sebab setelah kalian menjadi pemimpin, tidak ada lagi waktu -yang cukup- untuk bertafaqquh” [Muchlisin]